Ketika petir bergemuruh saling bersahutan, kedua telinga sampai tak kuasa menahan. Sinarnya sangat menyilaukan di tengah malam itu. Mata ini juga tertunduk malu sampai pikiran pun melayang jauh. Langkah kaki menjadi tidak seirama dengan gaya lelaki. Lunglai saja.
Tapi mendadak hujan deras datang, kemudian aku berlari untuk berteduh di gubuk sunyi. Pandangan pun selintas menoleh ke beberapa arah yang terlihat seperti punggungan bukit di kegelapan.
Samar-samar di ujung jalan persis di bawah jembatan, pedagang rebusan berdiri tenang. Kacang, pisang, ubi, singkong, talas berhimpun lemas di antara uap panas yang terlihat mengepulkan asap dari kejauhan. Tampak sekali jajanan itu baru saja matang.
Disusul seorang perempuan tua yang datang untuk mendekati namun tidak untuk membeli. Ujung jarinya hanya menunjuk saja pada jajanan itu. Pedagang seketika mengerti lalu tanpa basa basi langsung memberi. Pemandangan demikian indah di mataku.
Sekejap saja perempuan tua itu melangkah pergi menyusuri sisi kanan di bawah jembatan layang menuju arah di mana aku mulai menggigil. Hujan, tiba-tiba saja semakin deras.
Saat itu ia hanya menoleh sesaat seraya tersenyum kepadaku dan menerobos air hujan begitu saja dengan senang. Namun aneh, hujan tidak membasahinya, dan seketika itu pula seolah jadi terlihat reda.
Makanya sebentar terlihat pedagang rebusan jadi ramai di kelilingi oleh samar bayangan dan suara-suara, dan aku sendiri terheran-heran, lalu segera mendekati untuk juga mau membeli.
Tapi sayangnya hujan masih deras sehingga tubuhku basah kuyup, dan saat tiba pada yang dituju, aku terkejut bahwa tiada siapa pun di sini.
Aku pun sadar akhirnya. Ini bukan di bawah jembatan tapi area kuburan. Rupanya, aku dihujani lamunan akibat kebanyakan hutang pinjol untuk kebutuhan judol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H