Mentari pagi bersinar menyambut hari sementara alam pun turut berseri-seri. Anak-anak sekolah dasar tampak riang berlarian menuju sekolah sebagai tujuan.
Di sekolah pun sudah disiapkan sarapan pagi sebagai program uji coba makanan bergizi.
Pendek kata, satu-satu siswa dan siswi tanpa ragu menyantap habis sekotak lauk pauk dan nasi. Namun di sudut kelas seorang siswi kelas empat hanya menikmati saja lewat tatapan iri kedua matanya seraya menahan diri. Namanya Putri Tangguh Sejati.
"Mengapa ia hanya tatap sekotak nasi itu di mejanya?"kata hati para birokrasi negeri yang beramai-ramai mencuri pandang. Lalu, seorang di antaranya datang mendekati.
"Kenapa tidak dimakan, Nak? " tanya seorang ibu yang bukan gurunya itu.
"Tidak, Bu. Untuk dibawa pulang saja. "
Katanya tenang seraya menatap dalam-dalam wajah ibu itu yang mulai tampak terharu.
Padahal selama ini Putri Tangguh Sejati sendiri sebagai anak yatim sudah terbiasa empat tahun hidup tanpa empati.
Sekarang ia hanya sedang mengingat ibunya untuk makan bersama sekotak nasi ini saat waktu kerja ibu siang nanti selesai mengurus rumah tetangga. Dan, ia merasa tidak perlu dikasihani di sekolah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H