Aku tidak ingin mengenangmu kembali. Semua sudah jalanNya menetapkanmu untuk berada di sisiNya. Andaikan daun yang jatuh di musim penghujan itu tumbuh dan bunga-bunga kamboja berbaris rapi di sekitar pusaramu itu sungguh tiada lagi yang menarik bagiku.
Pepohonan, dedaunan dan bunga-bunga di sana kini sekadar penghias mata. Aku tuliskan ini untuk menegaskan padamu bahwa tapak dan langkahku di sini telah meninggalkan jejak agar kaumau mengerti.
Tapi ah sudahlah kausudah mati. Pasti tidak bakal tau dan mengerti tentang kehadiranku di sini. Asal kautahu, ini kunjungan terakhirku di pusaramu. Jangan kauuji kembali kesetiaanku ini. Jangan lagi bertanya aku kini dengan siapa.
Tampak secarik kertas yang kusam yang tergolek lusuh di area pemakaman dekat pusara ayahnya itu diambilnya, lalu dibacanya sungguh-sungguh. Tiap baris kata disimaknya dalam-dalam. Satu pertanyaan muncul di kepala. Siapa yang menulis ini?Untuk pusara yang mana?
"Ada apa, Kak?Kertas apa itu?"
Dewi lalu menyodorkan pada adiknya, dan Ratih memegang sobekan kertas itu yang dibaca sekilas olehnya lalu dilemparnya begitu saja.
"Bukannya doa malah menulis,"gerutu Ratih yang didengar Dewi tanpa suara balasan.
Keduanya lalu meninggalkan area pemakaman usai menyambangi makam ayahnya itu sembari menoleh sesaat untuk menatapnya dari kejauhan. Disusul angin yang berembus perlahan dan sejuk yang menerpa semua yang ada di area ini, termasuk keduanya.
Seolah desiran angin itu memberi pesan dari semua jasad yang terbujur kaku yang terpendam di dalam tanah pada mereka,"terimakasih atas doa-doa yang telah disampaikan."
________
Di kediaman orang tua Dewi, dan Ratih tiada suara. Hening berlaku sementara. Tiada satu kata pun yang terucap padahal kepastian tanggal sangat menentukan bagi rencana pernikahan ini. Deru suara kendaraan dari luar ruang tamu ini taklagi mampu menepis kebuntuan dari apa yang sedang diperbincangkan.