Sejak payungnya rusak, Munru terlihat murung. Malah ia juga jatuh sakit. Badannya dirasakan panas. Sudah dua hari ini ia terbaring lemah.
Paijo turut sedih melihat keadaan Munru. Semula ia tidak tahu pangkal penyebabnya. Tapi dari sikap Munru, ia akhirnya tahu latar murungnya itu, hingga pikirannya tertuju pada peristiwa kemarin.
Semua itu akibat payung warna kuning terangnya yang patah. Terinjak oleh Munru tanpa sengaja ketika ia meloncat gembira.
Payung ini menjadi payung kesukaannya. Ia bisa menari-nari dengan payung, atau berlagak jalan kian kemari seolah terik panas atau hujan datang tiada henti. Setiap melihat payung itu ia serasa ada yang melindungi.
Karena itu, Paijo memintanya untuk bersabar. Payung kuning akan diperbaiki. Sembari mengatakan itu, ia selimuti Munru, juga mengompres dengan kain bekas berulangkali dengan air dingin di bagian keningnya agar panasnya turun.
Munru hanya memperhatikan sebentar ucapan, dan tatapan mata Paijo. Ia justru menengok ke arah payung warna kuning yang gagangnya patah.
Paijo tahu tatapan mata Munru sebagai isyarat agar ia segera memperbaiki payung itu. Hari sebenarnya sudah larut malam. Tapi apa mau dikata, ia ahirnya turuti ungkapan bathin Munru itu.
Ia sebenarnya tidak enak pada tetangga bila ia memperbaiki payung itu maka akan terdengar suara berisik. Sebab payung itu bukan dari bahan aluminium tapi kayu.
Tapi mau bagaimana lagi. Ketimbang Munru terus murung, dan tidak sembuh, ia tidak ada pilihan. Harapannya tetangga itu akan mengerti yang sedang ia lakukan nanti ini.
Paijo punya beberapa paku, juga paku payung. Ia ada lem untuk merekatkan, dan menguatkan sebelum dipaku untuk menyambungnya. Tapi ia lupa di mana martil kecilnya disimpan. Dicari di tiap sudut rumah petakan tidak ditemukan.
Akhirnya ia tinggalkan Munru sebentar untuk meminjam martil pada tetangganya. Munru tampak olehnya sedang tertidur.