Dokumen Pribadi
Isu terbaru dari dugaan korupsi pejabat pemerintah sambung menyambung datang. Bagai temali kawat yang tidak pernah putus untuk diterima jurnalis lewat pesan berantai dari gawai masing-masing.
Solidaritas tanpa batas. Diburu kemudian kabar itu lewat kesepakatan alamiah untuk mengulik dari sudut pandang pemberitaan yang berbeda.
Namun liputan yang telah ditulis Nastiti tidak sesuai dengan keinginan Pemimpin Redaksi, lewat ucapan Redaktur pelaksana media massa itu. Alasannya berta yang dibuat masih belum mengungkap fakta yang sebenarnya. Padahal dua narasumber, biasanya sudah bisa.
Kecuali bila tulisan itu, menurutnya, dalam atau laporan investigasi yang sifatnya depth atau feature berita. Tapi ini straight news. Padahal rapat redaksi kemarin sudah disepakati atas usulannya ini. Nastiti jadi murung kemudian. Lelahnya tidak lagi dihargai.
Ia hanya termenung di depan layar monitor netbooknya seraya menduga-duga alasan yang tidak masuk akal itu. Sudah dua cangkir teh panas yang diminumnya, serta cemilan bakwan satu buah, Nastiti masih menaik-turunkan isi berita yang telah dibuatnya. Rasanya tidak ada yang salah, dan dipastikan memang begini yang biasa ia buat.
Dicoba dicek berita yang diturunkan hari ini dari media massa yang lain, rata-rata nyaris tidak ada perbedaan dengan liputan kemarin yang ia datangi. Belum juga membaca tuntas semua berita itu, gawainya berdering. Ia cepat angkat.
"Nas, liputan kemarin punyamu mana?"tanya suara di ujung telpon tanpa basa basi.
"Tidak dimuat, Bim. Gak tahu tuh."timpal Nastiti pendek.
"Kenapa ya?Ya sudah nanti aku cari tahu,"kata Bimo, kenalan reporter dari media lain meyakinkan untuk mencari penyebabnya.
Sementara di ruang lain, pemimpin redaksi sedang berbincang bersama redaktur di desk politik, dan hukum. Bertiga mereka mendiskusikan liputan yang dibuat Nastiti yang tidak dimuat hari ini. Pada kedua redaktur itu, soal liputan Nastiti kemarin lupakan saja. Diminta juga pada mereka untuk memberikan tugas pada Nastiti dari angle yang lain.