Bicara pensiun, dan pensiunan tidak semua orang ada di fase semacam ini. Bagi mereka pekerja suatu instansi, swasta atau ASN tentu punya persiapan. Persiapan itu dinikmati kala tahap masa kerja sudah ditunaikan.
Sebab sudah ada dana pensiun atau jaminan hari tua yang bakal diterima kontan. Rata-rata barangkali sesuai aturan di usia 56-60 tahun, atau untuk jabatan tertentu hingga 68 tahun.
Sementara bagi pekerja non formal, misalnya pedagang, atau serabutan sekalipun tidak mengenal istilah demikian. Sepanjang masih sehat, kuat, dan optimis jalani hidup maka bekerja apapun yang sifatnya menguntungkan secara materil, akan dikerjakan. Tidak ada kaum ini ada di area dengan sebutan pensiunan.
Jika orang sudah masuki usia "menjelang isya" dan tidak produktif lagi maka persiapan yang dilakukan untuk menghadapi pensiun dan jadi pensiunan cuma satu, yakni tunggu kompensasi uang pensiun masa kerja, dan uang pensiun bulanan yang didapat dari iuran yang telah dipotong selama menerima upah sebagai ASN.
Ini menurut orang tua saya, yang kebetulan keduanya PNS (almarhumah ibu, dan bapak kini 87 tahun).
Jadi menurut mereka, tidak ada persiapan yang sifatnya olah financial, pisik atau mental supaya siap menghadapi situasi yang stagnan, dan tidak produktif. Atau wara-wiri karena biasa rutin kerja, lalu tidak lagi sibuk. Tidak demikian.
Justru masa persiapan pensiun, atau bahkan jadi pensiunan banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi tentu bukan dari aspek benefit aktivitasnya. Keduanya seperti bahagia telah bisa tunaikan tugas selama 35-40 tahun itu.
Setelah itu kompak pindahan pulang kampung ke kota asalnya. Sementara anak-anaknya dibiarkan mandiri dengan jalan, dan caranya sendiri. Sebab sudah dibekali dengan pendidikan sebagaimana kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya, bahkan hingga perguruan tinggi.
Di desa apa yang dilakukan?Dulu ketika lepas pensiun tahun 1999, lalu 2000 pindah ke kota kelahirannya yang dilakukan itu hanya berkebun (tanam buah mangga, jambu air, pepaya) diselingi ternak ayam sekadarnya, dan pelihara ikan di empang. Keduanya saling bahu, yang tadinya biasa pegang pulpen, lalu kembali ke masa kecil,yakni pegang arit, dan pacul.
Mereka mengalir melakukan hal itu, mulai dari dinas aktif, pensiun, dan pasca pensiun. Tidak ada sebagaimana orang-orang kekinian yang kuatir akan masa menghadapi usia pensiun.
Dari pengalaman itu, paling tidak juga mempengaruhi diri penulis tentang soal demikian. Pensiun atau tidak, sepanjang semua itu dijalani, dan dilakoni dengan hal yang baik-baik saja, maka akan menuai hal yang baik pula. Daripada menanam hal yang kelak malah memusingkan kepala, lalu deg-degan hingga ke jantung, lantas semaput di masa pensiun, lebih bagus santuy.