Lihat ke Halaman Asli

Erusnadi

Time Wait For No One

Kenangan 17

Diperbarui: 14 Agustus 2022   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sepanjang jalan pada Agustus 2022 hari ini berkibar sang Merah Putih tiada lelah. Di gedung perkantoran, di pemukiman, bahkan di warung-warung pinggir jalan. Bendera-bendera itu tiada yang kusam, kotor, maupun sobek. Semua mengkilap, bersih, dan kompak melambai-lambai kala dihembus angin.

Di kendaraan pribadi, maupun angkutan umum juga demikian. Termasuk bajajnya Zaid yang tiap bulan keramat ini tak bakal ditinggalkan untuk didandani. Dari rukim, penjual bendera yang langganannya itu, Zaid beli untuk tahun ini tiga bendera merah putih. Dua ukuran kecil, dan yang satu ukuran standar.

Untuk ukuran kecil ia hiasi di dekat spion kiri, dan kanan bajajnya, sementara ukuran standar di pasangnya di muka rumah. Setiap usai memasangnya ia hormat pada bendera tersebut dengan tegap dan tegak.

"Kepada sang merah putih, hormat grak!"Tegasnya spontan.

Lalu ia lhat-lihat lagi untuk memastikan ketiga bendera itu secara bergantian kalau-kalau ada yang salah, atau terbalik memasangnya. Sebab pernah satu kali ia karena terburu-buru, bendera itu dipasang terbalik di bajajnya, sehingga kena push up oleh polisi ketika lewati jalan. Makanya untuk kali ini ia mesti teliti. Dan, untungnya semua serba rapi, baru, dan gemilang.

Ia juga bersiul, dan menyanyikan lagu 17 Agustus dengan penuh semangat. Sampai-sampai tetangganya mpok Loren yang sedang menjemur kutang, turut juga kala Zaid sampai di bait, "Indonesia Merdeka.. ."

"MERDEKA!" sahut mpok Loren seraya mengepalkan tangan.

17 Agustus sebagai tanggal, dan bulan keramat bagi Zaid. Ia kadang mengenang di saat sekolah dasar di tahun 70-an dulu yang selalu diminta untuk membaca Pancasila pada saat peringatan hari kemerdekaan tersebut.

Dari mulai kelas tiga sampai lima ia membaca Pancasila karena dipilih oleh bapak, dan ibu guru. Oleh karena suaranya keras, lancang, dan berani tampil di muka umum, juga hafal. Kemudian di kelas enam, ia semakin maju diminta untuk membaca Pembukaan UUD 1945 pada saat upacara itu.

Ia juga kadang ditanya oleh bapak, dan ibu gurunya, kelak cita-citanya mau jadi apa. Zaid juga tegas menjawab."menjadi orang yang berguna bagi bangsa, negara, dan agama!"

Mendengar jawaban itu, kadang bapak, dan ibu guru ingin tahu juga secara jelas cita-citanya apa secara pasti, sebagaimana teman-temannya itu. Ada yang cita-cita jadi guru, dokter, tentara, insinyur, polisi, pedagang, atau pemain lenong. Tapi Zaid tetap konsisten jawabnya, hanya ingin jadi manusia yang berguna bagi nusa. bangsa, dan agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline