Lihat ke Halaman Asli

Erusnadi

Time Wait For No One

Suatu Pagi di Pasir Putih Pantai Tak Bernama

Diperbarui: 22 Juli 2020   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasir putih di pantai tak bernama tampak mengkilat diterpa cahaya mentari pagi. Ombak juga berlarian saling mengejar. Menabrak dinding karang, bongkahan batu, serta menghempas kerikil di sekitarnya.

Anita memungut kerikil itu, dan melemparkan kembali ke arah laut biru yang menderu. Tak ada satu orang pun yang ia lihat. Cuma burung-burung manyar yang meliuk di udara.

Ia berjalan di tepi. Sekali-kali menghindar dari sisa ombak yang hendak menjamahnya. Berulangkali malah. Rasanya tak ingin untuk pagi ini ia disentuh oleh gulungan air laut yang tampak merajuk mendekati.

Ia biarkan rambutnya yang sebahu tergerai dihembus angin. Dan, angin itu seakan membujuknya agar ia kembali ke kota.  Ia dengar bisikan itu. Bisikan yang kerap hinggap di telinganya kala usai menghiasi malam bersama Sadewa. lelaki lain yang ia cintai.

Suaminya, Nakula tak mengetahui itu.

Anita melihat dari kejauhan perahu kecil nelayan dimainkan ombak. Oleng ke kiri ke kanan seperti hati dan pikirannya.  Seolah menari-nari di lautan luas yang ia sendiri tak sanggup untuk menghentikannya. Sebagaimana yang dirasakannya selama ini.

Dalam perahu itu, ia berpikir, nelayan tengah menguatkan daya agar hari ini diperoleh ikan, seberapapun banyaknya. Pagi ini juga ia berharap penantian lelaki itu bisa terjawab. Namun ia tak menepis jika suatu saat urusan hati ini akan selesai juga. Soal gelombang atau prahara yang kelak datang akan ia siasati dengan caranya. Sebab ini keputusannya semata.

Sadewa meminta agar ia tinggalkan suaminya, Nakula.

Anak? Anita sangat menginginkan. Tapi dari Sadewa benih itu hadir. Ia meyakini itu. Kendati suaminya, Nakula yang didiagnosis mandul beralasan bahwa ini keajaiban. Keajaiban yang diberikan Tuhan setelah 10 tahun menanam benih tak kunjung menuai hasil.

Dan, ia menganggap datangnya kehamilan sekarang sudah suratan. Anita tersenyum pahit mengingatnya seraya memandang putih awan di langit  biru yang berarak bak kapas saja layaknya.

Anita menyimpan rahasia ini kuat-kuat dalam rahimnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline