Sudah tiga kali bolak balik di sekitar pasar tanah abang, bajaj Zaid belum juga ada sewa. Padahal ia sudah wanti-wanti, jika dapat satu sewa saja ia bakal pulang. Sebab sore nanti ada pembagian jatah sembako dari RT buat warganya.
Karena panas terik yang rada menyengat ia arahkan kemudi menuju pohon sengon yang lebat di sisi jalan yang di sebelahnya kali selebar lima meter. Zaid hentikan bajajnya di sini. Ngadem, buat sebentar. Tinimbang muterin jalan yang belum tentu ada hasil, lebih bagus istirahat. Apalagi sahur semalam ia cuma kebagian sedikit, karena istri dan anaknya menjadi prioritas.
Bulan puasa kali ini dirasakan Zaid sekeluarga luar biasa berat. Bukan soal puasanya, tapi wabah corona yang sudah dua bulan lebih belum kelar-kelar. Ini yang bikin nyali Zaid ketar ketir, kuatir tidak bisa kasih asupan gizi buat istri, dan anaknya.
Sementara itu Pariyem yang punya warung Tegal, tetangga Zaid nasibnya juga sama. Langganan yang biasa mampir pas azan maghrib, mulai banyak yang tidak datang.
Tahun lalu, waktu berbuka puasa itu seringkali warungnya jadi tempat kumpul tukang ojek, tukang air pikulan, juga pekerja konveksi yang kos di dekat rumahnya. Setidaknya benefit usahanya cukup lumayan untuk mudik, sekaligus pulang kampong.
Tapi sekarang dirasakannya sebagai ujian yang sangat berat. Usaha kendor, mudik juga dilarang. Untungnya Karim selalu setia menemani dan menjadi tempat curhatnya. M
eski kadang Pariyem kesal juga pada Karim yang sudah dua kali lebaran lewat belum juga ada tanda-tanda mau melamarnya. Kalau ditanya, alasannya selalu tunggu waktu yang pas supaya saat bulan madu tidak akan lama punya keturunan.
Jawaban Karim semacam ini justru direspon positif Pariyem, Pariyem malah sering melamun, kelak kalau punya keturunan, anak-anaknya itu bakal montok dan sehat. Seperti dirinya yang gemuk, dan Karim yang tambun.
Kegelisahan Zaid, Pariyem, Karim tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan Salman, Haji Mukti, Salim, Koh Acung, dan tetangga lain di sekitar lingkungan mereka tinggal. Situasi bulan puasa di tengah wabah COVID menjadikan Haji Mukti memutar otak dan strategi supaya tetangga yang dianggap kurang mampu ini bisa survive di keluarga mereka. Karenanya bantuan sembako dari Pemda DKI bagi mereka yang sudah terdata sekaligus yang berhak menerima bisa meringankan sedikit beban warga.
Haji Mukti wajar berpikir keras, sebab belum ada tanda-tanda wabah ini akan hilang, dan keadaan bisa cepat normal kembali. Bantuan sembako itu pikirnya akan cukup buat satu minggu saja. Ini prediksi yang matang dikalkulasi. Sebagai tokoh masyarakat, ia kerap melakukan kordinasi dan upaya, terutama dengan Koh Acung, agar tetangga mereka yang seperti saudara ini bisa aman dan bertahan di masa yang anggapnya genting ini.
Seperti siang ini, usai sholat zuhur, Haji Mukti bertandang ke rumah Koh Acung ditemani ketua RT. Rumah yang berarsitektur betawi tempo dulu dengan halaman cukup luas, dan terbuka menjadikan pertemuan mereka santai namun serius. Koh Acung dipandang tokoh juga, selain mapan secara ekonomi, ia juga adalah generasi kelima yang tinggal di wilayah ini. Jadi warga tidak ragu lagi dengan keluarga keturunan ini yang konon buyutnya itu Laksamana Cheng Ho.