Paska merebaknya polemik soal perlu tidaknya penerapan status "Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)" di Provinsi DKI Jakarta berikut bumbu politis perseteruan dalam perspektif kekuasaan antara pemerintah pusat dengan daerah, hingga pada akhirnya Kementerian Kesehatan menerbitkan KepMenKes.No.HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang "Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar Di Wilayah Provinsi DKI Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID--- 19)" pada tanggal 7 April 2020.
Produk payung hukum tersebut mendapat respon politis relative cepat dengan suasana kebatinan tertentu pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga tepatnya tanggal 9 April 2020 menerbitkan Pergub.DKI Jakarta.No.33/2020 tentang "Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta" sebagai pijakan politisnya dalam praktik operasionalnya.
Bisa jadi, situasi Jakarta memang sudah sangat darurat bila mencermati konsideran huruf (a) KepMenKes.No.HK.01.07/MENKES/239/2020 yang menyebutkan "bahwa data yang ada menunjukkan telah terjadi peningkatan dari penyebaran kasus Coronn Virus Disease 2019 (COVID- 19) yang siginifikan dan cepat serta diiringi dengan kejadian transmisi lokal di wilayah Provinsi DKI Jakarta".
Pertimbangan ini tentu telah dikaji sangat serius sebagaimana konsideran huruf (b) yang menyebutkan "bahwa berdasarkan hasil kajian epidemiologi dan pertimbangan kesiapan daerah dalam aspek sosial, ekonomi serta aspek lainnya, perlu dilaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah Provinsi DKI Jakarta guna menekan penyebaran COVID- 19 semakin meluas".
Sebagai ibukota negara, Jakarta tentu sangat sibuk berbagai aktivitas dan bisnis yang disertai intensitas pola interaksi warga kota maupun para pendatang (dalam/luar negeri) dengan urusannya masing-masing. Mungkin saja fenomena tersebut disinyalir menjadi penyebab dan pemicu penyebaran hingga penularan wabah dengan terus meningkatnya jumlah pasien positif COVID- 19 secara siginifikan dan cepat.
Pertanyaannya kemudian? Apakah pemerintah Provinsi DKI Jakarta mampu melaksanakan penetapan PSBB ini secara profesional dan konsisten? Dan apakah skenario politis ini tidak berimplikasi dampak menuju penetapan darurat sipil di Indonesia?
Di antara 2 (dua) pertanyaan kunci tersebut akan dipaparkan deskripsi situasi dan kondisi ketahanan ekonomi masyarakat berikut kemungkinan aksi para pialang politik hingga konsekwensi dampak penetapan darurat sipil yang harus diantisipasi secara terukur, yang simpulan akhir dipersilahkan khalayak masyarakat untuk menemukan dan menentukan pilihan jawabanya sendiri secara rasional tentunya.
Konsistensi dan Kesiapan Pemerintah
Konsekwensi politis bagi pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pelaksaknaan PSBB, adalah memastikan seluruh kewajiban terhadap layanan kepada warga jakarta berlangsung dengan tertib dan tepat sasaran, dan melakukan pengendalian secara tegas dan adil sesuai rambu-rambu hukum tanpa terkecuali.
Sedangkan konsekwensi logis dari pelaksaknaan PSBB, memastikan seluruh hak (baca: bantuan langsung tunai) diterima warga jakarta yang memenuhi syarat dan ketentuan, hingga ketersediaan cadangan sembilan bahan pokok yang dibutuhkan warga jakarta.
Masalah pemenuhan kebutuhan dasar warga DKI Jakarta selama penetapan PSBB berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Pergub.DKI Jakarta.No.33/2020 yang menyebutkan "Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan bantuan sosial kepada penduduk rentan yang terdampak dalam memenuhi kebutuhan pokoknya selama pelaksanaan PSBB" menjadi kunci keberhasilan sekaligus tantangan tersendiri. Mengapa demikian, karena secara politis pemerintah DKI Jakarta bisa mengelak secara hokum jika target capaian PSBB tidak terpenuhi.