"Jangan dahulukan badan sebelum hati dan pikiran. Sebaik-baik manusia adalah hatinya juga. Sebaik-baik masjid dan mushola adalah umatnya juga..." (Arifin C. Noer)
"Kalau aku mati, sandiwara ini tak akan pernah ada..."
Kemudian ia melepas gelas kopi dari tangan kirinya. Beberapa serbuk menyangkut di kumisnya yang tipis. Sesekali matanya menukik ke lantai yang beberapa bulan lalu dicor. Sesekali dibuang ke langit yang sudah menunjukkan jam setengah satu malam. Udara dingin makin pekat. Sepekat aroma keringat sembilan orang yang duduk membentuk lingkaran kecil. Yang semuanya mengenakan kaos hitam dan celana pangsi hitam. Mereka duduk khusuk, melebihi kekhuyukan duduk dalam sholatnya. Lembaran-lembaran kertas dibuka satu persatu. Matanya tertatih-tatih mengeja dialog yang ditulis oleh seorang sastrawan yang wafat pada 29 Mei 1995; 17 tahun silam.
Angin menderu di sebelah utara. Tapi, tidak bisa menembus barisan ratusan batang bambu yang berdiri kokoh. Barisan bambu ini pula yang menghalangi bulan dan bintang-bintang menembus pelataran rumah yang dibiarkan sendiri dan berdebu tebal di sudut-sudut temboknya. Huff! Untuk yang keseratus kalinya setelah 15 tahun silam, cerita kembali dimulai dari depan rumah yang berhadapan dengan dua kandang ayam bangkok berukuran besar, kopi, rokok serta silogisme konyol para filsuf muda dari tanah Jawa dan Betawi karbitan.
Dan, aku. Aku tetap santai menonton setiap ocehan para aktor yang saling bertarung watak, urat leher, diafragma, energi batin dan kesadaran berlakon. Rokok kretek di tanganku mulai goyah karena menahan ngantuk. Tak jelas berapa kali aku menarik nafas untuk mencari udara segar dan tak jelas berapa kali aku menujam-nujamkan kedua mata agar pandangan tak layu. Dan, tak jelas berapa kali aku membanting kepalaku ke udara sebagai bagian dari teknik kejut membuang ngantuk. Sia-sia.
"Sabar. Jangan dahulukan badan dibanding hati dan pikiran. Sebaik-baik manusia adalah hatinya juga. Sebaik-baik masjid dan mushola adalah umatnya juga!"
Prak! Aku sadar, tumitku menyenggol gelas itu pelan sekali. Tapi, mungkin karena rasa kejut yang tiba-tiba maka gelas itu ingin memecahkan dirinya sendiri. Aneh, usai dialog itu, dadaku tersempal. Aku yakin ini bukan akibat sempalan angin malam. Aku hapal betul jenis sempalan angin malam dari berbagai iklim, kondisi, keadaan dan wilayah. Karena aku adalah anak kolong langit.
Ini karena dialog itu. Sebuah dialog perlawanan! Gugatan pada keadaan yang tidak semestinya dan tidak sewajarnya sebagai manusia. Untuk kesekian kalinya, setelah 15 tahun lebih menekuni proses hidup, aku kembali menaruh hormat pada malam itu untuk sebuah ketajaman kata-kata. Sebuah presto dialog yang satir dan menyindir...
Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H