Mungkin kata-kata tersebut sangat cocok untuk menggambarkan pelaksanaan hukum di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, sebagian besar kasus hukum yang ada di Indonesia sekarang ini menimbulkan teka-teki yang sulit diterima oleh masyarakat. Apabila dalam asas hukum berbunyi, hukum tidak memandang siapa pelakunya maka dalam kenyataannya hukum memandang siapa pelakunya. Dari beberapa kasus hukum yang ada seolah-olah memberikan pesan tersirat jika penegakan hukum di Indonesia mulai memandang siapa pelakunya. Bagi mereka yang melanggar hukum tetapi memiliki kekuasaan maka mereka akan terlepas dengan mudah dari sanksi hukum. Akan tetapi bagi mereka rakyat bawah yang melanggar hukum walaupun sekecil apapun maka akan tetap mendapatkan sanksi hukum yang mungkin diibaratkan sangat mencekik leher bagi para pelanggarnya. Penegakkan hukum yang seperti ini sangat memprihatinkan karena kasus ini terjadi di negara yang menjunjung tingi hukum dan demokrasi. Contohnya saja kasus yang dialami oleh nenek Asyani dan kasus Labora Sitorus. Kedua kasus ini menjadi salah satu contoh ketidak adilan penegakan hukum di Indonesia.
Ajun Inspektur Satu Labora Sitorus merupakan seorang anggota kepolisian yang terjerat 3 kasus hukum yaitu penimbunan bahan bakar bersubsidi, pencucian uang dan pembalakan hutan secara liar serta memiliki rekening gendut di ATM nya sebesar 1,5 Triliun. Kasus Labora Sitorus ini menyita perhatian dari banyak pihak pasalnya dalam penangkapan yang dilakukan di Sorong tersebut mengerahkan 700 pasukan yang merupakan gabungan dari aparat polisi dan TNI. Penangkapan Labora Sitorus ini mengalami banyak kendala seperti adanya perlindungan dari masyarakat dan aparat di Sorong. Atas kasus tersebut maka Labora Sitorus dikenai hukuman 15 tahun dipenjara.
Nenek Asyani yang yang berprofesi sebagai tukang pijat berumur 63 tahun ini seharusnya mulai menaikmati masa tuanya dengan beristirahat dengan baik dirumahnya, akantetapi sekarang ini dia harus mengikuti proses hukum yang diterimanya lantaran melakukan pencurian kayu jati milik perhutani. Akibat kasus tersebut majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo memvonis 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider kurungan satu hari. Hukuman yang kini dialami oleh nenek Asyani sangat jauh dari keadilan dan hati nurani karena jumlah kayu yang diambil dari hutan jati perhutani tersebut tidak sepadan dengan hukuman yang harus dijalani sekarang. Kayu-kayu tersebut selama 5 tahun disimpan oleh nenek Asyani di rumahnya yang nantinya akan dibuat dipan. Dalam penyelesaian kasus tersebut, pengadilan tidak menggunakan hati nuraninya untuk memutuskan suatu perkara serta tidak melihat latar belakang dari nenek Asyani sendiri yang berasal dari rakyat kecil. Pada kenyataannya nenek Ashany mengambil beberapa pohon kayu jati milik perhutani tidak untuk memperkaya diri sendiri akan tetapi untuk membuat dipan yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari sebagai tukang pijat.
Kedua contoh kasus diatas menggambarkan betapa timpangnya penegakan hukum yang ada di Indonesia. Mengadili suatu pelanggaran hukum tidak berlandaskan pada hati nurani dan pada norma-norma yang ada. Seharusnya para hakim tersebut memiliki rasa empati terhadap kasus yang terjadi kepada nenek Asyani, melihat nenek Asyani memiliki latar belakang ekonomi yang kurang. Dimana yang seharusnya mendapat perlindungan dari hukum akan tetapi malah dijadikan korban jual beli hukum. Moral yang dimiliki masyarakat terlalu rendah sehingga mudah sekali untuk dipengaruhi oleh pihak luar. Carut marut mengenai penegakan hukum di Indonesia merupakan salah satu masalah pokok yang harus segera diselesaikan agar keadilan di negara ini bisa ditegakkan. Gambaran itulah yang dapat kita lihat dari penegakan hukum di negeri ini. Ketidak seimbangan penegak hukum dalam menegakkan hukum yang ada tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sendiri. Seharusnya para penegak hukum harus bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku memperbaiki sistem yang ada di dalamnya. Seperti yang telah tercantum dalam Pancasila sila ke 5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memberikan kontrol terhadap jalannya penegakan hukum di Indonesia, agar pelanggaran seperti di atas tidak terulang kembali. Sehingga mampu menumbuhkan kembali rasa percaya masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Sumber :
http://news.liputan6.com/read/2178302/jeritan-hati-karyawan-labora-sitorus-di-papua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H