Lihat ke Halaman Asli

Erson Bani

Penulis buku "Lara Jasad" (2023), "Melayat Mimpi" (2023), Senandika dari Ujung Negeri: Kumpulan Opini dan Esai tentang Pendidikan, Sosial, Budaya, dan Agama (2024)

Patriotisme Memicu Perang?

Diperbarui: 7 Februari 2022   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Republika.co.id

Peristiwa penghacuran jiwa dan bangunan pada Mei 2021 mungkin masih terlintas dalam benak saudara-saudara di Pelestina. Beberapa orang harus menjadi korban konflik yang hingga kini belum menemui titik akhir. Bahkan jauh sebelumnya, perang tidak bisa terkendali. 

Sebut saja peristiwa besar yang terjadi pada Perang Dunia I dan II. Selain kedua perang besar ini, masih banyak lagi perang yang terjadi di beberapa negara dan bahkan hingga saat ini, gema perang seakan menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.

Pada akhir Januari 2022, rencana perang kembali terjadi antara Rusia dan Ukraina. Konflik keduanya pun semakin memanas ketika beberapa negara ikut ambil bagian dalam rencana ini. 

Peralatan perang mulai dipersiapkan. Latihan perang pun telah dilakukan. Keinginan untuk perang terlihat sangat besar dalam diri para prajurit. Upaya perdamaian sepertinya masih jauh dari harapan.

Jika dilihat dari konseksuensi perang itu sendiri, bukan tidak mungkin tentu akan muncul kengerian perang. Konsekuensi perang adalah kematian. Berada di medan perang berarti siap untuk tidak kembali lagi.

Tubuh manusia menjadi konsekuensi yang paling besar dan diikuti kerusakan bangunan seperti perumahan warga, jembatan, gedung-gedung besar dan berbagai bangunan lainnya. 

Apakah mereka yang hendak berperang tahu dan sadar akan risiko ini? Tentu iya. Tetapi tidak sedikit juga yang memilih untuk mengakhiri perselisihan melalui perang. Keinginan ini kemudian diterjemahkan sebagai bentuk patriotisme.

Dalam buku yang ditulis oleh Michael True "An Energy Field More Intense than War" (1995) dikatakan bahwa dalam Perang Dunia I, 95 persen dari mereka yang gugur adalah tentara dan 5% warga sipil ; dalam Perang Dunia II, 52 persen adalah tentara dan 48% warga sipil; dalam Perang Korea, 16 persen adalah tentara dan 84% adalah warga sipil. Masih banyak lagi jumlah korban jiwa yang meninggal entah tentara maupun warga sipil.

Ketika ditanya antara perang dan damai, sebagian atau mungkin banyak orang akan memilih yang kedua. Pertanyaannya, mengapa banyak orang masih memilih untuk berperang dengan penuh antusias? Pertanyaan yang sama pernah ditulis oleh Nel Noddings, filsuf feminis Amerika dalam buku "Peace Education: How We Come to Love and Hate War". 

Nel Noddings sadar bahwa sudah banyak buku yang berbicara tentang upaya mengatasi perang salah satunya melalui pendidikan perdamaian. Kesadaran inilah yang mengantarnya untuk melihat sisi lain dari perang yakni psikologi. Patriotisme menjadi salah satu alasan mengapa perang belum berakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline