Lihat ke Halaman Asli

Erson Bani

Penulis buku "Lara Jasad" (2023) & "Melayat Mimpi" (2023)

Gagasan Teologis dan Dialogis Agama-agama Menurut A. Pieris

Diperbarui: 3 Januari 2022   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: International Harmony Theologian Prize

Pieris memulai konsep dialog agama-agama dengan mengambil sikap sekaligus jarak terhadap apa yang dikatakan oleh Gereja mengenai agama lyan. Sikap Gereja ini dibagi ke dalam dua bagian, yakni apa yang dikatakan oleh magisterium Gereja dan magisterium para ahli. 

Menurut Pieris ada tiga sikap, yakni ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Sebagaimana diketahui bersama maksud dan arti dari setiap sikap.

     

Eklusivisme merupakan pandangan yang mengatakan bahwa keyakinan agama saya merupakan agama yang paling benar atau menjadi sarana keselamatan. Implikasi langsung dari sikap ekslusivistis adalah upaya untuk memasukan lyan ke dalam horison keagamaan saya. 

Upaya ini merupakan implikasi paling utama dari sikap ekslusif. Inklusivisme merupakan sebuah kemajuan, keyakinan bahwa kekuatan absolut yang menyelamatkan ada dalam agama saya, tetapi pada saat yang sama daya menyelamatkan ini juga terkandung dalam agama-agama lyan. 

Daya agama lyan menyelamatkan sejauh ia terarah kepada keyakinan agama saya. Para penganut pluralisme berpandangan bahwa setiap agama memiliki kekhasan keselamatan atau pembenaran. Implikasi bahwa ada penolakan untuk menyesuaikan gagasan keselamatan dari agama yang satu ke dalam agama lyan.

Bagi Peris sendiri, ketiga sikap sebagaimana diulas di atas tidak tepat sasar untuk dieksplisitkan dalam konteks Asia. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa Asia memiliki keberagaman keyakinan iman dan pada saat yang sama, terdapat situasi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat Asia. 

erhadapan dengan kenyataan ini kita tidak dapat menggagas dialog untuk dirinya sendiri. Dialog antaragama dalam konteks Asia harus bermuara pada pembebasan dari ketertindasan. Teologi agama-agama dan dialog antar-agama dalam konteks Asia harus berangkat dari dunia ketiga. Karena demikian ia menawarkan magisterium ketiga, yakni magisterium kaum miskin.

Orang-orang miskin memiliki spiritualitas duniawi, yakni keterseruan mereka kepada Allah karena ketertindasan. Mereka berseru kepada Allah agar dipenuhi segala kebutuhan hidup seperti rumah, makanan, pekerjaan, dan lain sebagainya. 

Keadaan ini mewarnai doa mereka. Tanda bahwa dalam ketertindasan, mereka sepenuhnya bergantung pada Allah. Artinya Allah mereka adalah nasi, lombok, rumah, dsb. Spirtualitas mereka adalah spirtualitas kosmik. 

Di dalam spiritualitas kosmik terdapat daya pembebasan. Daya pembebasan ini terungkap dalam narasi hidup mereka, yakni Allah bergulat bersama mereka Dan hal ini tidak cukup dihargai bahkan diekslusikan dalam dialog antar-agama dari kalangan Kristiani. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline