“…Maka aku ingat Ajo Sidi, si Pembual itu…. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bias mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.” (Navis, p. 10).
Berangkat dari kutipan di atas, maka apa yang dapat disimpulkan adalah sifat Ajo Sidi yang suka membual dan menghasut orang-orang dengan cerita-ceritanya. Cerita yang digembar-gemborkan oleh Ajo Sidi adalah sebuah paradox besar, di mana ketika hidup hanya untuk beribadah (Tuhan) berarti membiarkan hidup di dunia sengsara, sedang hidup untuk mengurangi ibadah kepada Tuhan dengan mengurus duniawi “mengurangi” beban hidup di dunia.
Ini adalah narasi besar yang dapat memepngaruhi masyarakat, terutama si Kakek. Dia tokoh yang sangat taat beribadah, dia tokoh yang akhirnya mendengar kisah tentang haji Soleh—dari Ajo Sidi—yang masuk neraka karena dia hanya mengurusi dunia akhirat, dan membiarkan keluarganya melarat bersama penjajah. Narasi ini juga akhirnya yang menggerakkan si Kakek untuk menghakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ada beberapa hal yang dapat dikategorisasikan dalam oposisi biner, tokoh Ajo Sidi—si Kakek, Surga (Ibadah)—Neraka, dan Kaya—Melarat. Di dalam tokoh Ajo Sidi terdapat sifat-sifat yang dapat dirumuskan, dia seorang pembual, tokoh dengan pengetahuan yang luas (terlebih pada narasinya), tokoh yang dapat menghasut, mempengaruhi, dan menguasai kesadaran maupun ketaksadaran masyarakat. Sedang tokoh si Kakek adalah tokoh yang lemah, tua rentah, tak punya apa-apa, hidup melarat, dan segala hal yang tidak layak dikaitkan dengan kehidupan bahagia (pada umumnya). Bentuk oposisi biner yang kedua adalah Surga dan Neraka. Yang dimaksudkan dengan Surga adalah sebuah tempat terakhir yang diiidamkan (terutama bagi masyarakat Timur/ Islam), sebuah tempat yang hanya dapat dimasuki melalui tiket ibadah, sholat, sembahyang, dan menyembah serta beriman kepada Tuhan. Neraka berarti tempat kebalikan Surga, tempat yang tidak diinginkan oleh siapa saja, maka daripada itu mereka yang beriman beribadah. Oposisi biner yang terakhir adalah Kaya dan Melarat. Ini adalah gambaran di mana Kaya bersifat sangat duniawi, kaya selalu identic dengan kemakmuran, harta melimpah, sember daya alam yang melimpah, sedang melarat adalah keadaan di mana serba kekurangan, serba tertekan, dan dua konteks ini masih dalam taraf yang bersifat duniawi, sehingga dapat dikatakan jika oposisi biner ini terjadi di dunia nyata.
Dalam konteks wacana pasca-kolonialisme, bentuk sebuah narasi adalah sebuah bentuk yang diseharusnya diterima mentah-mentah begitu saja. Terutama narasi narasi yang menantang identitas orang Timur. Seperti diketahui, apa yang membuat Kakek bunuh diri adalah sebuah kenyataan pahit jika ibadahnya dia berupa hal yang sia-sia. Ajo Sidi, yang dianggap mempengaruhi si Kakek, seperti mempunyai kuasa untuk membuat narasi-narasi akan kebenaran tersebut, sehingga, si Kakek yang tua rentah tak mempunyai apa-apa, begitu rapuh sehingga ketika narasi tersebut menyelami pikirannya, maka yang ada adalah bayangan kekaburan siapa dan untuk apa dia itu. Gambaran ini jelas menunjukkan sebuah hubungan antara penjajah dan terjajah. Ajo Sidi adalah seorang penjajah, dengan wacana-wacana yang dia miliki, dia mmapu menguras sifat ke-Timur-an si Kakek yang taat beribadah.
Paradoks yang terjadi di dalamnya adalah, menyembah Tuhan membuat melarat karena membuat penjajah bebas mengeruk sumber daya alam. Sehingga, Tuhan—dalam cerita Ajo Sidi tentang haji Soleh—digambarkan sebagai sosok Tuhan yang tidak benar-benar Tuhan, Tuhan penggambaran Ajo Sidi adalah Tuhan yang tidak menyukai hambanya untuk beribadah kepada-Nya lantaran beribadah padanya hanyalah sebagai bentuk distorsi daru kemalasan manusia untuk tidak bekerja, mengolah materi dunia, dan berkuasa di tanahnya sendiri. Apa yang dapat ditarik dari hal ini adalah, penggambaran Tuhan yang bertolak belakang pada Tuhan yang diyakini pada umumnya. Jika Tuhan berbeda dengan makhluknya, tentu sifat-sifat Tuhan juga berbeda dengan makhluknya. Tuhan Tidak akan menuduh hambanya yang malas, atau sebagainya. Bukankahk ini seperti sebuah ketakutan serta penggambaran yang mencoba mengkritis jika beribadah—seperti Kakek/orang Timur—adalah kegiatan yang bodoh. Narasi yang disebarkan seolah-olah mencoba mencitrakan sebuah bentuk “beribadah” yang benar, dengan mengolah materi dunia, mempererat persatuan agar tidak dikuasai pihak lain, dan sebagainya. Bukankah ini semua adalah penggambaran bagaimana dunia yang sebenarnya dalam dunia barat, materi yang sangat Marxis, persatuan yang begitu condong pada hasrat untuk dapat menguasai sendiri (Nietzschean), serta kemerdekaan yang berarti bebas (Satrean). Apakah narasi ini yang benar dan pantas untuk Timur?
Yang tentunya sangat mencolok adalah, Tuhan dengan sebuah narasi jika negeri haji Soleh adalah negeri yang makmur, kaya, penuh dengan sumber melimpah, yang seharusnya menjadikan manusia di negeri itu kaya, tapi malah melarat karena terlalu beribadah pada Tuhan. Kaya dan Melarat, sebuah paradoks yang terkjadi di negeri haji Soleh. APa yang dapat ditarik dari bagian Kaya dan Melarat ini adalah kecenderungan “mencurigai” praktik-praktik orang Timur yang terlihat bodoh dengan kegiatan beribadahnyam, sehingga mereka dikatakan sebagai orang yang malas, dan tidak mau mengolah sumber daya alam. Memang ini ada benarnya, jika mengapa mempunyai tambang emas, tapi malah ingin menjadi kuli bukan mandor. Tapi, ini harus dikembalikan pada wacana tandingan atau wacana penetralisirnya, tidak terpihak pada sebuah kebenaran yang mengatakan seharusnya kaya di negeri yang kaya. Berbeda, bukan sebagai tandingan, bukan sebagai cerminan untuk mencitrakan diri, adalah titik tolak Timur pada Barat. Timur dengan cara beribadah, kepercayaan, tidaklah hal yang aneh, atau janggal, Barat mencoba untuk mendefinisikan Timur dengan tujuan agar mereka semakin terbentuk dengan citra-cira yang berbeda dengan Timur. Mereka takut akan menjadi sama dengan Timur, maka mereka memberi contoh agar Timur harus menjadi kaya, seharusnya kaya, menguasai materi yang ada di negerinya, bukan beribadah pada Tuhan yang melulu. Inilah bentuk sebuah bidang miring yang diciptakan Barat untuk mengatakan jika orang Timur itu sengsara, mereka tidak bahagia, mereka hanya dikuasai oleh kepercayaan mereka, dengan begitu Barat seolah-olah bahagian dengan menciptakan tokoh karangannya tentang Timur, tentang di mana dunia antah berantah yang bodoh dan dungu, yang tidak mau menjadi kaya. Dapat dibayangkan bagaimana jika si Kakek tidak bertemu dengan Ajo Sidi, dan dia tetap menjaga surau, tentu hatinya masih akan riang, bibirnya merekah bahagia, ukuran kebahagiaan bukan dari sebuah penandaan akan kebahagiaan yang diciptakan manusia Barat, akan tetapi kebahagiaan itu bersifat jamak, distorsi, dan tidak selalu mengacu pada referensi orang Barat.
Untuk berdiskusi, silahkan hubungi penulis. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H