Elsa menggeser posisi duduknya. Teman di seberangnya, Nika, spontan ikut bergeser, seakan tak mau kalah dengan Elsa, untuk memastikan seorang perempuan lanjut usia yang baru naik mendapatkan tempat duduk sehingga mereka tidak diusir turun oleh supir angkutan kota (angkot) yang mereka tumpangi.
Angkot bergerak lagi, diiringi bunyi "jreng jreng" dari ukulele seorang remaja pria di pintu masuk di belakang supir.
“Nggak sekolah, Nak?” tanya ibu yang rambutnya abu-abu karena ubannya sudah mulai banyak menimpa helaian hitam di kepalanya.
“Sudah pulang, Bu,” jawab Elsa sembari melihat Nika, seakan meminta persetujuan apakah jawabannya sudah tepat. Sementara remaja laki-laki yang bermain ukulele tadi seperti tidak peduli.
Warna pakaian Elsa dan Nika tampak pudar. Entah karena sering dicuci, atau karena sudah kental tercampur debu dan daki pada kulit mereka. Mereka beralas kaki sandal jepit, yang warna putih alas telapak kakinya juga tak jelas lagi.
Ibu Lani, demikian perempuan dengan rambut abu-abu itu, penasaran. Dia mengajukan lagi beberapa pertanyaan kepada bocah-bocah itu, yang pada jam belajar malah berkeliaran di angkutan umum, membawa-bawa ukulele dan dua tempat saweran dari botol-botol bekas air mineral yang dibelah dua -- satu dari botol berukuran sedang yang dilubangi lalu diikatkan pada ujung ukulele dan satu lagi dari botol besar yang ditaruh di sisi tempat duduk Nika.
“Kelas berapa?” tanya Ibu Lani.
“Kelas satu,” jawab Elsa.
Ibu Lani kaget, sebab sebelumnya Elsa mengaku sudah berusia sepuluh tahun.
“Saya nggak naik kelas terus, Bu,” Elsa menjawab keheranan Ibu Lani dengan polos.