Ini cerita tentang sebuah mangga. Kuning. Berukuran sedang, dengan ujung sedikit melengkung seperti tanda baca koma.
Ia menggelantung, sebatang kara di antara ratusan helai daun. Ranum, tapi masih kokoh menempel pada pohon. Ia luput dari pandangan bila tak benar-benar diperhatikan. Bak sehelai daun kering yang menyangkut di tempat itu. Seperti layang-layang yang terbawa angin dan rebah di sela kerindangan.
Entah sudah berapa lama ia di sana, menghabiskan masa hijaunya dan kini menikmati kuningnya. Si empunya bahkan tak menyadari sebelumnya, hingga suatu sore perempuan lanjut usia (lansia) itu berkata setengah berteriak kepada anaknya yang bungsu, "De, ada mangga."
"De, ada mangga," katanya lagi, penuh semangat, ingin Ade (panggilan untuk anak bungsunya) segera turun dari pagar di dekat pohon, dan menjadi saksinya.
Itu terjadi kemarin sore. Lia dan Ade tengah sibuk membersihkan tumpahan pinang merah di atas parit di luar pagar. Buah-buah itu berserakan sampai ke trotoar. Bahkan, ada yang sampai mengambil badan aspal di depan rumah.
Berbenah
Dengan sapu lidi, pengki, pacul, dan serokan, Lia dan Ade berbenah. Lia bergerak dari titik pagar pas di tikungan. Ade bergerak dari ujung berlawanan, yakni di area dekat pintu masuk dan keluar. Rencananya, mereka akan bertemu di titik tengah.
Rumah mereka terletak di siku jalan. Luaran pagar di atas parit sepanjang sekitar 30 meter itu di satu sisi ditanami pohon-pohon pinang, yang setelah hampir 20 tahun ini menjadi tinggi menjulang. Barisan tanaman itu tampak gagah dari kejauhan. Di sisi lain, luaran pagar ditanami pepohonan dari dua-tiga macam.
Buah-buah pinang itu rimbun, cantik. Hijau atau kemerahan. Seperti buah-buah melinjo yang untuk sayur asem, tetapi berukuran lebih besar. Buah-buah itu berguguran bilamana angin kencang datang, seperti yang kerap terjadi belakangan ini. Mereka berserakan di sana-sini. Kadang ditiban lepahan daun kering yang ikut tumbang dari si pinang. Jika tidak segera dibersihkan, semua itu bakal merusak pemandangan.