Lihat ke Halaman Asli

ERRY YULIA SIAHAAN

Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Cukup Satu Kata

Diperbarui: 28 Maret 2023   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Free Images)

Satu kata memiliki kekuatan yang dahsyat. Cukup satu kata untuk mengubah makna suatu kalimat, memporakporandakan suasana, mengusik emosi orang, menimbulkan pertengkaran, bahkan menjadi sebuah kutukan atau sebaliknya berkat.

Satu kata bisa dicurigai biang redundansi atau pengulangan makna. Efeknya bisa mengganggu ketenangan pegiat semantika. Ujung-ujungnya, muncul vonis bahwa kata itu harus dihapuskan atau dipangkas. "Sangat yakin sekali", contohnya. Kata sangat dan sekali merupakan pengulangan makna. Pilih saja salah satu, kata yang peka tata bahasa.

Satu kata bisa memutarbalikkan fakta. Dari yang positif menjadi negatif, atau sebaliknya. Ini selera para pendusta atau narasumber yang tidak kredibel, panjang mulut tapi kurang sabar untuk mericek dulu, gegabah, tukang fitnah.

Kata tidak, misalnya, jika ditambahkan pada kata lain bisa menjungkirbalikkan arti. "Makan" dan "tidak makan" bertolak-belakang. Makin ribet urusannya jika terkait hal-hal peka, seperti soal pekerjaan, etika, profesi, adat, dan semacamnya.

Satu kata bisa menjadi penambah rasa atau mencegah kehambaran kalimat. Jika keterangan tempat dalam sebuah kalimat kehilangan kata di atau ke, kalimat terasa hambar, seperti ada yang kurang. Bahkan, bisa merusak rasa atau bikin nggak karuan. Yang direncanakan semula "manis" malah menjadi "pahit". Misalnya, "Saya makan rumah", padahal maksudnya "Saya makan di rumah".

Sebuah kata bisa memperkuat pesan dalam kalimat. Ketika ada dua klausa yang bertolak belakang, kehadiran kata tetapi di antara keduanya membuat rasa bahasa menjadi lebih pas. "Mereka pandai, mereka jahat" akan lebih lezat bila dituliskan "Mereka pandai, tetapi mereka jahat".

Satu kata bisa membuat seseorang tersanjung atau terhina, gembira atau bersedih. Satu kata bisa menimbulkan kemarahan. Kata yang bersifat kasar, meskipun hanya satu, cukup untuk menusuk perasaan seseorang, bahkan melahirkan dendam. Kata gebug yang dilontarkan oleh Presiden Soeharto pada 1995, yang ditujukan pada mereka yang mendalangi demo terhadap dirinya di Jerman, menjadi kata sindirian buat Soeharto hingga sekarang.

Satu kata bisa mencerminkan kejiwaan atau karakter seseorang, kebiasaan atau kesukaannya. Tingkat penguasaan dirinya. Penutur yang kerap menggunakan kata goblok dalam berinteraksi, sebenarnya secara tidak langsung sedang menunjukkan "siapa" dan "bagaimana" dirinya. Orang yang latah juga sebenarnya bisa dinilai sebagai "siapa" dari diksi yang dilatahkannya.

Satu kata tidak bisa mengubah fakta, tetapi bisa mengubah cara orang mempersepsikannya. Misalnya, pada kata-kata yang bersifat propaganda. Kita bisa mengatur satu kata untuk digunakan atau tidak. Menggunakan dengan sengaja satu kata pasti memiliki tujuan. Menggunakannya secara tidak sengaja, menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang.

Selanjutnya, mari kita simak lebih dekat apa yang dinyatakan oleh kata jika dan tetapi dalam konteks ini.

"Jika"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline