Lihat ke Halaman Asli

Rasa Debu Kurusetra

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Tidak ada yang pasti di muka bumi, yang pasti adalah tidak pasti…”

Pernyataan itu saya yakini hingga sekarang.

Buat saya, rasa turun ke dunia adalah seperti rasa debu di padang Kurusetra. Rasa yang tanpa ketetapan, tanpa kepastian memihak pada siapa. Kadang debu itu ikut berperan membantu tentara pandawa menutup mata tentara kurawa, tetapi debu itu jua yang membantu kurawa mengelabui pandawa.

Debu yang kadang tanpa peran apa-apa, kecuali merasai. Seperti jengkelnya debu kurusetra yang hanya menonton malunya Yudhistira dan adik-adiknya memerangi sepupunya sendiri; marahnya debu itu yang cuma jadi penyaksi Abimanyu disembelih tentara pamannya sendiri.

Ya rasa debu, dan cuma itu…

“Tidak ada yang pasti di muka bumi, yang pasti buat kita-kita ini adalah tidak pasti…”.

Ups, tapi pernyataan itupun juga barangkali. Pernyataan itu hanya kira-kira, alias kemungkinan saja. ‘Mungkin’ memang hanya bisa dilawan dengan pertanyaan mungkin,; “apakah mungkin ketidak kemungkinan itu?” Ketidakpastian hanya bisa dipermasalahkan oleh ke-barangkali-an; “Barangkali saja kan ada kepastian?”. Dan seterusnya, dan seterusnya…

Kepastian adalah setelah terjadi. Sebelum terjadi, semuanya hanya usaha pencarian kepastian yang bentuknya bermacam-macam; melalui logika menang-kalah, untung-rugi , benar-salah, melalui ramalan dukun beserta kemenyannya yang harum, hitungan ahli nujum berdasar kalender yang serba metafora, atau mimpi yang datang kala pagi menjelang; mimpi yang katanya setajam harum puspa.

Buat saya, semua usaha pencarian dibolehkan. Toh, semua hanyalah bentuk usaha pencarian, bukan sebuah usaha melihat takdir tuhan, sebuah usaha dari keledai yang coba meng-goblok-I gusti.

Toh, bukankah semua pencarian itu hanya-lah mendatangkan kebingungan, membuat kita merasai rasa debu yang itu; rasa dalam ketidakpastian, rasa dalam ketidakmungkinan?

Bukankah yang demikian itu hanya membuat kita merasai rasa Ibrahim yang bermimpi menyembelih sendiri putranya, rasa Musa melihat nyala di Gunung Thursina, rasa Gautama berhadapan dengan maya, rasa Muhammad memilah segala urusan sebagai tengah-tengah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline