Lihat ke Halaman Asli

Prosa untuk Gadis Senja

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Ini harus Mas" itu kata terakhir dari perempuan itu. Dia mengakui pula bahwa semua tetangga telah memakainya. Tapi ah, haruskah aku seperti tetangga? haruskah aku seperti yang lainnya?

Aku memandangi lagi tubuh yang kini mematung di depan pintu kamar kosku. Dia tak seberapa jauh di atas usiaku. Tidak muda, tapi belum jadi seorang ibu kukira. Ia memakai kemeja putih dan rok hitam. Rapi.

Wajahnya tidak jelita, biasa saja. Hanya saja, harus kuakui kalau bibirnya sedap dipandang mata. Seorang pujangga akan berkata itu ranum, tapi bagiku lebih. Hidungnya tidak mancung, akan tetapi dengan tahi lalat kecil disana. Kata primbon jawa, entah edisi berapa, pertanda ia banyak disukai orang –termasuk saya.

Dahinya adalah dahi senja, sedikit berkeringat dan letih. Tapi tetap saja, bagiku ia memesona. Tingginya hampir sama denganku, dengan tubuh yang merekah berisi. Dan kau tahu? Itu seleraku sekali! Dia tidak seperti model kurus kering yang kerap bangga dengan kata langsing! Bagiku, tubuhnya tertata. Ah, kalau aku terus bercerita pesonanya, feminis akan menuduhku mengeksploitasi tubuhnya hanya untuk cerita.

Dan ketahuilah kawan, kupastikan sore itu kosku lengang. Entah kemana perginya para penghuni. Terang, aku malas mencari. Mengapa pula aku harus berpaling dari bibirnya yang mempesona?

Diam-diam, kubulatkan hatiku; aku setuju! Maaf kawan, aku tak kuasa menolak ia -yang seperti kubilang, biasa saja tapi mempesona. Meski dengan itu, aku harus mengorbankan empat puluh ribu.

Segera kuperiksa dompetku, saku celanaku, laci mejaku, bahkan saku tiap pakaian kotorku. Tapi sayang hanya kudapati delapan ribu hingga sampai kiriman Bapakku esok hari. Dalam hitungan detik, senja yang kukira tadi cerah berubah jadi gundah.

Aku kembali di hadapannya disertai kebingungan.Terlalu bodoh aku menolak tapi terlalu pengecut aku untuk berkata tidak. Aku diam hingga datang tegaku berkata "Maaf mbak, kata pemerintah, Abate digratiskan. Jadi saya...".

Bibirnya yang ranum itu merengut, dan segera dibawa paksa tubuhnya pergi melangkah tanpa kucegah. Tersisa sunyi, senja, aku dan bisikku pelan-pelan; ”alhamdulillah....”

*) Untuk mengenang para penjaja Abate setelah membaca sebuah surat pembaca Kompas 26 Juni 2010, juga keanehan yang mungkin kita jumpai lagi esok hari di negeri yang belum selesai ini....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline