Keluarga saya ada yang dibantai oleh orang anti-komunis dan ada yang dibantai oleh komunis. Jadi mohon tak usah berceramah di depan saya soal bahaya komunisme atau sebaliknya. Syukuri saja anda masih ada sekarang, sehat wal afiat, menghirup nafas merdeka lalu bersiap membaca cerita saya.
Dia saudara jauh saya. Seorang perempuan yang lumayan berada pada masanya. Dia, tak seperti perempuan tua di desa saya. Lebih fasih berbahasa Indonesia, karena berdiam di Jakarta pada 1965. Jika ia sedang berkebun, menyapu atau mencuci pakaian, ia selalu memakai sepatu boot dari karet, sebuah hal yang tak biasa di wilayah ‘ndeso’ seperti desa kami di kabupaten Madiun.
“Saya aktif di Jatinegara”. Untuk apa? “Saya cuma memperjuangkan emansipasi wanita. Lainnya tak ada. Saya tidak tahu soal malam 30 September. Tapi sesaat setelah mendengar kabar penertiban itu, saya pasrah dan segera mempersiapkan pakaian seperlunya, bersiap dijemput”.
Kemana? “Bukit Duri!”. Ngapain aja di Bukit Duri? “Menanam cabe, kadang belanja ke pasar. Saya ketua blok di situ, saya berteman dengan penjaganya kok, akrab malah. Saya bisa melarikan diri, tapi seluruh dunia sudah jadi penjara, jadi buat apa lari?”.
“Kamu tahu Ibu Nyoto? Dia kalau ditanya ‘kemana bapak bu?’ pasti bilang; Bapak dimakan semut!”. Oya? “Ya, saya kenal juga dengan Bu Tantri. Tapi sudahlah, semua terlalu sukar diingat dan diceritakan...”
Bupoh*) tahu kalau Pak Pram meninggal? “Oya? Innalillahi...Ya Bupoh tahu dia, Pak Pram itu pinter”.
”Buat apa kamu menanyakan ini pada Bupoh?”. Buat ditulis. ”Jangan! Nanti kamu kenapa-kenapa. Bupoh sudah begini,...tidak ada yang perlu dituliskan atau diluruskan kembali. Kamu tahu? bahkan Bupoh sampai tak bisa membaca karena larangan itu. Tapi ya biarlah begini. Bukan karena Bupoh takut. Bupoh tidak takut, bahkan pada militer sekalipun! Tetapi bagaimana dengan kamu, saudara Bupoh, atau orang lain yang sama sekali tidak perlu dilibatkan harus menjadi korban?”.
Itulah cerita yang menyebabkan saya merasa tak perlu mempercayai sejarah adalah milik penguasa, bahkan hingga sekarang.
Saya merasakan luka Bupoh, seperti halnya orang yang anti-Gerwani merasakan lukanya sendiri. Namun jika rasa itu berarti sejarah telah dikuasai hingga sejarah harus direbut kembali, maka penulisan sejarah akan selalu berupa pembalasan dendam yang pada akhirnya tak pernah berhenti.
Sejarah, barangkali adalah seperti bertani. Selain kecukupan pangan, bertani pasti menyisakan lumpur kering di wajah dan tangan. Jika pada lumpur kita enggan dan selalu harus dibersihkan, bagaimana kita dapat mencukupi pangan?
Saya tak hendak memperdebatkan atau bahkan meluruskan kebenaran sejarah 1965. Saya pribadi sama sekali tak bersepakat dengan marxist***). Yang saya tahu, Bupoh akhirnya meninggal 3 tahunan lalu. Barangkali untuk menemukan kemerdekaannya setelah seluruh dunia baginya hanyalah penjara....[ ]