Lihat ke Halaman Asli

Semiotika Sego Karak (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika saya dengar soal krisis pangan, krisis Bahan Bakar Minyak, dan krisis lainnya hingga pemerintah pusat menyarankan berhemat, khayalan-khayalan itu sempat bangkit kembali. Saya ingin memasyarakatkan sego karak sebagai pilihan gaya hidup hemat. Untuk menambah anggaran, pemerintah memang masih bisa jual empat atau lima perusahaannya, tapi kita-kita ini mau jual apa lagi?

Toh, saya dengar ada masyarakat dan akademisi yang tak malu-malu menyarankan kotoran kerbau, sapi dan juga manusia, sebagai jalan pemenuhan kebutuhan gas. Lumpur yang menjijikkan saja sekarang bisa jadi gaya hidup di tempat-tempat body massage itu kok, masak sego karak tidak?

“Tapi ya susah Mas” komentar seorang teman. “Kenapa? Apa karena nasi aking tidak bergizi”, tanya saya. “Bukan”. “Lalu?”. “Habis kalau ada nasi aking, yang tergambar pasti orang-orang yang modelnya kayak sampeyan Mas, serba papa dan miskin. Siapa lagi coba yang hobi makan nasi aking kalau bukan orang miskin? Terus mana ada orang yang mau disebut orang miskin?”.

Waduh! Benar juga, tidak ada orang di muka bumi yang mau dipanggil ‘si miskin’. Saya sendiri emoh. Emoh milik saya dengan kecuali tentunya. Kecuali kalau sedang ada bagi-bagi kompor gas dan uang subsidi. Wong jarang-jarang pemerintah kita memberi rakyat dengan persyaratan sederhana tanpa lewat berlapis-lapis meja. Demi rejeki langsung dan tunai, saya pun mengalah kepada pemerintah yang memaksa saya mengaku; “sangat miskin” atau “miskin” atau “hampir miskin”. Apakah saat itu pemerintah puas diakui sebagai pemelihara rakyatnya, pengasih warga republik seperti saya, saya tak ambil pusing.

Mimpi memasyarakatkan sego karak alias nasi Aking pun surut. Pertama, jelas saya tidak mau dibilang orang miskin. Kalau saya jadi promotor nasi Aking, bisa-bisa saya cuma dianggap orang yang paling miskin di Nusantara yang berupaya cara hidupnya diterima masyarakat sekelas Mbak Dian Sastro dan Mas Bondan Winarno. Semua mata akan melihat saya dengan pandangan prihatin. Saya bukanlah orang yang hobi makan nasi aking, seperti halnya anak-anak imut yang hobi makan sabun atau makan kayu yang sering dibilang ‘unik’ di acara televisi itu. Saya, buat mereka, hanyalah yang terpaksa makan nasi aking sebab miskin dan tak kuat beli beras.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline