Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Indonesia dengan Bahasa Daerah

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa adalah pemikiran. Menjaga bahasa Indonesia adalah wajib. Namun, dengan adopsi teknologi juga informasi yang sebagian besar berasal dari luar, bahasa Indonesia terus terpuruk. Apa sebab? Teknologi adalah buah pikiran yang terwakili lewat bahasanya sendiri. Tak ayal, setiap kali inovasi dari luar digunakan, istilahnya langsung terserap bahasa Indonesia.

Di pihak lain, ketika kita bicara bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa lokal-lah yang terbiasa salah. Ia dianggap ‘bukan Indonesia’ atau bahkan gejala etnosentrisme. Anehnya kita meratapi betapa banyaknya jumlah serapan bahasa Indonesia dari bahasa asing ketimbang bahasa daerah.

Membaca banyak artikel dengan bercampur bahasa daerah selayaknya membuat kita gembira. Bukan hanya pada isinya. Akan tetapi pada tebaran kalimat bahasa daerah yang membaur di antara bahasa Indonesia.Hal ini bukan gaya menulis semata. Meski banyak menggunakan bahasa daerah, namun menurut saya, ia ‘lebih Indonesia’ ketimbang tulisan yang melulu bicara kaidah atau baik dan benarnya bahasa Indonesia.

Masalah Aksara Latin

Mengapa begitu mudah bahasa Indonesia menyerap bahasa asing? Beberapa meyakini karena kita senang istilah bule. Yang lain mengatakan kebanggaan kita berbahasa Indonesia sudah turun. Padahal, penyerapan bahasa asing oleh bahasa Indonesia adalah niscaya! Ya, niscaya ketika aksara latin menjadi elemen dasar tulisannya.

Aksara tidak netral, ia terkait juga dengan kekuasaan. Kenyataan penggunaan aksara yang beragam di wilayah Sunda misalnya, mestinya tidak dimengerti sebagai riwayat sejarah belaka. Penggunaan aksara Sunda Kuno, kemudian juga aksara arab (pegon) adalah bukti aksara terkait dengan kuasa. Pun demikian dengan aksara latin yang kita pergunakan sekarang.

Kemampuan baca-tulis aksara latin, menurut Mikihiro Moriyama, tak lepas dari ilham buku-buku sekolah yang terbit di bawah pengawasan pemerintahan kolonial (Belanda) (Moriyama, Semangat Baru. 2003; 78).

Doenia Bergerak (1915), sebuah surat kabar yang merupakan monumen pergerakan nasional, masih mencantumkan aksara Jawa dalam beberapa teksnya. Tak jelas apakah karena Mas Marco dan penulis-penulis di situ ingin keren-kerenan atau menghindari sensor. Kalau sebabnya yang kedua, berarti ada kesadaran aksara jawa hanya dipakai dan dimengerti kalangan tertentu. Artinya, aksara jawa sudah “tidak umum” ketimbang aksara latin.

Dominasi aksara latin terhadap aksara lainnya mungkin diawali praktik percetakan dan pengajaran, akan tetapi yang tidak boleh kita lupa adalah peran Sumpah Pemuda. Sumpah itu mengikrarkan penghormatan pada satu bahasa; bahasa Indonesia, dengan menyisakan pertanyaan; apa aksaranya? Sumpah Pemuda mengikrarkan beberapa perkara dengan menyembunyikan perkara lainnya. Kebungkaman Sumpah Pemuda ikhwal aksara diperoleh dengan menganggap selesai perihal aksara, sehingga menegaskan aksara latin sebagai aksara Indonesia. Dengan demikian lagi, melancarkan peminggiran aksara lainnya, misalnya aksara sunda kuno dan aksara jawa misalnya sebagai “aksara daerah” atau aksara arab sebagai “aksara agama”.Sumpah Pemuda, adalah hasil sukses latihan dan disiplin aksara latin pemerintahan kolonial mulai tahun 1800-an melalui sekolah, surat kabar dan bentuk-bentuk praktik aksara latin lainnya.

Sementara Sumpah Pemuda bekerja dengan kebungkaman, lain halnya dengan novel “Sengsara Membawa Nikmat” karangan Tulis Sutan Sati yang secara kebetulan juga terbit pada tahun 1928. Diceritakan bahwa seorang Midun yang alim dan bersahaja, masuk penjara karena ia cuma kenal aksara arab. Ia tertipu perjanjian yang ditulis dengan aksara latin. Akhirnya, setelah ia dilatih baca-tulis latin oleh seorang narapidana di sebuah penjara, ia berhasil menjadi asisten demang. Dengan novelnya, Tulis Sutan Sati tegas membilang bahwa ‘kesadaran’ hanya bisa dimiliki dengan aksara latin. Aksara arab (bawaan periode Islam) hanya membuat bangsa ini tertipu seperti Midun.

Moriyama meyakini bahwa revolusi aksara pada akhirnya memunculkan perasaan sebagai kelompok yang baru (Moriyama, 2003; 78). Dengan aksara itu, Indonesia terasing dari peradaban Nusantara sebelumnya. Indonesia adalah “makhluk baru”, sedang Sriwijaya, Kutai dan lain-lainnya adalah “makhluk lainnya”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline