Kalau ngomong mengenai online, maka ingatan saya langsung terlempar ke lagunya Saykoji yang berjudul Online. Lagu yang dirilis tahun 2009 tersebut, lebih menggambarkan 'candu' online yang dapat membuat orang lupa segalanya demi untuk online.
Bergerak ke tahun sekarang, 2017, online sudah menjadi keseharian yang melekat di aktivitas kehidupan. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi, semua aktivitas pastilah bersinggungan dengan smartphone yang kemungkinan besar terkoneksi secara online. Kalau boleh diurut nih, bangun tidur aja banyak yang dipicu karena adzan subuh dari aplikasi yang data subuh dan solatnya didownload secara online, trus bangun tidur belum sempat melakukan aktivitas apapun sudah mengecek aplikasi messaging: whatsapp, bbm, line, ataupun telegram.
Merasa harus segera terhubung dengan info terkini dari lingkungan terdekat, baik saudara maupun lingkaran pertemanan paling dekat. Sudah melakukan cek-cek messaging app, berlanjut mencari info terkini, bisa via line today atau aplikasi aggregator berita semacam babe, feedly dll. Itu termasuk aktivitas online banget. Atau kalau yang nak-kanak muda, setelah mandi dan makan pagi, tangan sebelah kiri megang hp sambil sarapan, sekalian sarapan konten di youtube. Sudah umum, sudah jadi hal yang rutin.
Menurut survey APJII di yang dilakukan tahun 2016, manusia Indonesia yang terkoneksi secara online 132,7 juta. Sekitar separuhnya, online dengan menggunakan perangkat mobile, yang bisa jadi dari tablet ataupun smartphone. Bahkan secara pasti, sekitar 63,1 juta melakukan aktivitas secara online dengan menggunakan smartphone. Hal ini cukup fantastis kalau flashback ke tahun 2009, ketika lagu Saykoji pasal online tersebut sedang ngetren. Zaman itu, 2009, memang jadi semacam zaman dimulainya online secara mobile bergerak secara masif. Saya masih ingat, bagaimana pertumbuhan BlackBerry di tahun tersebut sedemikian pesat. Semua orang mendadak menenteng facebook dan asyik masyuk bercengkrama di BBM. Semua orang mendadak punya akun facebook. Kemudian Negara Api menyerang, facebookpun menjadi ajang hajar-hajaran apalagi menjelang pilkada.
Kembali kepada hal Transportasi Online, jadi ya pas banget kalau Menteri Perhubungan mengatakan bahwa Transportasi Online adalah keniscayaan. Ya emang dunia itu bergerak maju, gak ada ceritanya bergerak mundur. Hanya orang yang gak mau majulah yang digilas oleh roda zaman. Pak Menteri saja sudah mau maju untuk mengatur Transportasi Online agar menjadi lebih baik, kok malah ini banyak pengambil keputusan di daerah malah tersandera oleh sebagian masyarakat pelaku transportasi konvensional agar menolak transportasi online. Jadinya gak paham sendiri.
Di beberapa daerah, masih terjadi penolakan terhadap transportasi online. Semacam ada alergi bahwa system online bakal mematikan yang konvensional. Lah, selama ini juga taksi konvensional menggerus moda transportasi lama semacam andong dll. Kok ya malah kebakaran jenggot. Di solo, ratusan taksi konvensional menolak kehadiran transportasi online, hal ini terjadi di bulan Juni 2017, yang peraturan menteri mengenai aturan transportasi online telah ditetapkan. Di beberapa daerah pun juga sama, penolakan senada juga terjadi oleh pemain lama. Sudah ditetapkan aturan aja masih ada banyak penolakan. Makin gak paham aja nih.
Kalau menurut pemirsa, transportasi online itu gimana sih? Apakah ada dari pemirsa sekalian yang masih bersentuhan dengan transportasi konvensional (taksi konvensional ataupun ojek pangkalan). Silahkan tinggalkan jejak di kolom komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H