Menyikapi anak-anak perempuan yang beranjak remaja ini memang susah-susah gampang ya. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan dipikirkan. Apalagi ketika kita sebagai ibu, melihat fenomena hari ini, dimana anak-anak remaja perempuan mulai menjaga jarak dengan ibunya.
Fenomena ini tentunya bukan tanpa sebab, mengingat pergeseran budaya dari manual ke arah perkembangan teknologi yang semakin maju. Dimana mudahnya akses informasi membuat si anak tak jarang asyik dengan dunianya sendiri, maklum sekarang apa-apa sudah di genggaman tangan kan.
Tak jarang juga, bonding seorang ibu dan anak perempuan justru terkesan lebih cepat renggang. Entah itu karena sikap yang salah dari orang tua, atau karena proses peralihan anak itu sendiri. Masalahnya ini sama-sama perempuan, makhluk yang random tergantung hormonal (katanya).
Namun ada baiknya, kita sebagai seorang ibu mulai belajar untuk menyikapi berbagai perubahan atau proses transisi mereka, yang tak jarang membuat kita sebagai orang tua menjadi emosi, marah bahkan sedih, padahal ujung-ujungnya takut si anak kenapa-kenapa.
Memahami Karakter Anak Perempuan Kita
Memahami karakter anak perempuan kita sendiri adalah hal yang paling pertama harus kita lakukan. Kenapa? karena sejatinya tidak mungkin kita sebagai seorang ibu akan mampu bersikap bijak ketika kita sendiri tidak paham bagaimana karakter anak-anak kita.
Misalnya saja saya dengan anak perempuan nomor satu, yang saat ini tengah duduk di bangku SMA. Ada banyak hal yang telah saya lalui dari proses dunia 'anak-anak' nya yang beranjak ke dunia remaja saat ini. Mulai dari merasa risih dengan aturan-aturan baru yang saya mulai terapkan, hingga merasa teman baik atau sahabat adalah tempat untuk pulang.
Awalnya saya merasa sedikit emosi, terutama ketika dia mengatakan bahwa cuma si 'A' yang mau dengar dan mengerti. Bahkan saya sempat sedih, karena sebegitu besarnya perhatian dan kasih sayang yang saya berikan sebagai seorang ibu, dan dengan gampangnya anak ini bilang begitu.
Namun tentu saja, saya tidak lantas menumpahkan segala emosi saya. Karena saya paham betul 'ada sisi yang belum saya pahami dan perlu analisa' dari saya sebagai seorang ibu. Alhasil saya pun mulai mengingat kembali bagaimana perilaku dan sifat anak saya selama ini dari kecil, anak-anak, hingga saat ini.
Beberapa analisa saya lakukan mulai dari mengajukan pertanyaan ke diri sendiri seperti "coba ingat kembali rasanya saat kamu menjadi remaja, bukankah tekanan itu juga kamu alami? Lalu bagaimana kamu ingin diperlakukan sehingga kamu mau mengerti?"
Lalu pertanyaan lain seperti "Bagaimana karakter anakmu? Apakah dia sensitif, terbiasa dibentak ataukah sebenarnya dia hanya butuh nasihat setelah dipeluk?" atau "minggu ini apakah dia sibuk dan butuh hanya didengarkan?"