Lihat ke Halaman Asli

Erni Wardhani

Guru, penulis konten kreator (Youtube, Tiktok), EO

45 Kompasianer Semangat Menimba Ilmu Menulis di TMII dan Mengunjungi Pulau Maju

Diperbarui: 10 Agustus 2019   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri


Menginap di Taman Mini ... ditambah dapat ilmu menulis, ah! Tak tanggung-tanggung. Bidang fiksi, Medsos-digital dan Ekonomi. Lanjutannya, makan gratis, dapat hadiah pula. Alamaak. 

Serasa ketiban durian runtuh. Bayangkan, baik benar Click dan PPI ini,  ya? Padahal, hari-hari akhir, bisa juga tercyduk sebagai peserta dari luar kota. Tiba dari Cianjur, Terminal Kampung Rambutan dan dilanjut masuk lewat Pintu Utama TMII. Meski rada terlambat -- karena harus mengajar dulu, euy. (Walau bagamaina pun, kewajiban harus dilaksanakan dulu, Kan?) Setidaknya, dikenai sanksi? Eh, malah langsung diganjar untuk makan. Dengan lauk, mengingat Tanah Sunda: sayur dan ada sambal. Rizekii wanita salehah. Gak gak gak!

Sesi Pertama yang Seksi

Asli! Ini passion saya. Seksi. Sebab, saya guru bahasa Indonesia, dan Mbak Fanny Jonathans menggelar ilmu menulis cerpen. Klop. Dengan suaranya yang berat, (mengingatkan saya kepada seorang penyanyi Jazz wanita ternama), putri Sang Guru-nya Gerson Poyk ini menuturkan. Perihal proses kreatifnya yang sungguh-sungguh dalam menggali sebuah tema untuk cerita pendeknya. Meski kadang menggiris cerita yang dituliskannya. Tentang pelacur, anak jalanan, sopir angkot sampai ia merelakan uang honornya kepada sopir Metro Mini. Semuanya humanis.

Dokpri

"Sayangnya, ada peserta pelatihan penulisan saya guru bahasa Indonesia, yang masih menggunakan ejaan salah. Tidak  bisa membedakan di-ke-dari, masih disambung untuk menunjukkan kata tempat. Saya heran, bingung!" tandas wanita berambut keriting berdarah NTT itu.

Aduh. Nohok betul,  tapi bukan saya! Saya sudah menulis novel, kumpulan cerita dan puisi. Ya, diganjar pula sebagai pemenang, salah satunya oleh Balai Bahasa Jawa Barat pula. Bagaimana mungkin mengajarkan hal mendasar dalam berbahasa yang salah? Apa kata peserta didik? Meski  saya mengacungkan jari untuk bertanya. Walau yang ditunjuk Mugi, sama-sama dari Sunda. Ia dari Bandung saya dari penghasil tauco dan beras  cianjur. Apa beda karya sastra dan pop? Dijawab Mbak Fanny dengan elegan. Karya sastra ditulis tidak main-main. Ada muatan tentang kehidupan. Dicecap hingga tulang sungsum hidup. Diambil rohnya.  "Berbeda dengan pop, sifatnya hanya cerita yang menghibur. Hal-hal glamour. Senang-senang. Selesai," ungkapnya mantap.

Sesi Kedua: Isjet

Isjet atawa punggawa COO Kompasiana (2017) ini, setidaknya sudah lebih dua kali bertemu dan ia mengenalku. Pertama saat mengikuti pelatihan menulis di UNJ. Kedua, termasuk di Kompasianival di Lippo Kemang, Jakarta Selatan. Iskandar Zulkarnaen menguak tabir dalam menulis di dunia blogger era digital kini yang menggelontor. Bagaimana mesti pandai-pandai meniti buih, aih! "Kadang kita mesti pandai memilih. Meski ada undangan berbayar, namun kalau diundang acara serupa dengan nara sumber sekelas Menteri, kalau saya ya pilih yang ini," ucap pekerja media Republika dan jebolan Ponpes Modern Darussalam, Gontor ini.
Membranding diri, perlu. Agar tidak menjadi penulis di dunia medsos yang bermarwah. Mengingat institusi umumnya membutuhkan branding yang kian ketat di era digital. Banyak yang dipaparkan Bang Isjet. Perbandingan dan perkembangan serta ceruk-ceruk mesti disiasati secara cerdik. "Saya kasih petunjuknya di sini. Gratis," tambahnya. Baik bener.  

Dokpri

Nah, Bang Isson Sesi Ketiga

Lelaki yang tinggi badannya beda tipis tipis dengan saya ini,  sudah berulangkali ke Cianjur. Bukan apa-apa. Ia memberi materi menulis kreatif. Termasuk menyinggung fiksi, dengan contoh yang masih saya ingat: Pelajaran Mengarangnya Seno Gumira Adjidarma yang menang dalam kategori Cerpen KOMPAS Terbaik. (Saya faham, tentu. Kan guru bahasa Indonesia yang baik). "Menulis ekonomi jangan dibuat rumit. Banyak, dan hampir semuanya mengait. Bisa apa saja. Ekonomi makro, misalnya," kata Bang Isson.

Dengan runtut dan intonasi yang terjaga perihal ekonomi, dia salurkan di ruang Graha Wisata kepada 45 orang Kompasianer , blogger dan vloger.  Asli, bahasanya bagus. Saya pikir, uraian dan paparan Bang Isson melenakan peserta setelah habis Ishoma Maghrib. Karena serangan malas dihajar perjalanan panjang saya dari Cianjur -- yang melewatkan acara di Cisarua hajatan itu -- terobati. Jika pun seorang guru bahasa Indonesia bergumul dengan sastra dan sejenisnya, selayaknya bisa menuliskan hal-hal keekonomian yang ada di sekitar. Contoh bahwa kita, blogger bisa menulis kredit di Pasar Beringharjo, Jogja yang ditangkap oleh BCA, cerita Bang Isson. Dan disambung tanya oleh Bu Maria G Soemitro tentang Pasar Ciroyom Bandung. Indahnya. Tersambung.

Tiga jawara dengan kapasitasnya masing-masing, jelas nilai jual tinggi bagi kami yang ingin berlabuh pada "ilmu-ilmu" di sekitar era media kini. Karena, kami berangkat bukan seperti Mbak Fanny, Bang Isjet dan Bang Isson yang sudah berkecimpung di dunia media mainstream. Yang punya kode etik dan perjalanan. Bahwa, istilah Bang Isson, pengalaman tidak bisa dibohongi. Tidak bisa ditukar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline