[caption caption="Banner ngoplah dok.pri"][/caption]Menjadi Kompasianer, memang terhitung mulai tanggal 31 Desember 2016. Walaupun masih sangat pemula, namun saya mencoba untuk menyimpan artikel seproduktif mungkin. Sampai menutup bulan ke tiga, saya berhasil mengarsipkan 32 buah artikel. Hitungan yang lumayan, berhubung saya memang orang yang mood-moodan.
Di tanggal 14 februari, dalam event Kompasiana, ada lomba membuat cerpen bertema mantan. Persyaratannya, peserta wajib share di Kompasiana dan di Tweeter. Media sosial terakhir, yang membuat saya mandek, karena saya sudah lama putus hubungan dengan akun tersebut. Sampai suatu malam, tanggal 31 Maret 2017, Bang TS nginbox menyuruh saya ikutan dalam lomba tersebut. Mungkin karena beliau sering melihat status fesbuk saya yang berisi cerita semua, maka ditawarilah ikutan lomba tersebut.
Keringat mengucur menganak sungai, betapa tidak, Bang TS nongol pukul 22.00 Wib, sedangkan deadline pukul 24.00. Bang TS terus menggelitik saya supaya ikutan. Karena merasa ditantang, akhirnya saya buat juga, nothing to lose. Cerpen bertajuk "Daun yang luruh di Rambutku" sukses diselesaikan dengan manja pada pukul 23.00, dan dengan susah payah mengingat penuh seluruh, akhirnya password Tweeterku ketemu juga. Pukul 23.10, berhasil juga saya kirimkan.
Hari demi hari, berlalu, dan saya tidak begitu berharap banyak, karena cerpen tersebut, tidak menjadi pilihan sama sekali, walaupun viewersnya lumayan. Namun ternyata perjuanganku di detik-detik terakhir, diapresiasi oleh Kompasiana. Saya menjadi salah satu pemenang dari 102 pengirim kisah tentang “Ketemu Sang Mantan”. Senang tak terkira, antara percaya dan tidak – ditambah hadiah 5 ratus ribu. Dan yang lebih mencengangkan lagi, ada email yang melamarku supaya dapat menjadi narasumber acara Ngoplah. “Sebagai perwakilan wanita dan dari Cianjur,” gelitik Bang TS.
“Yakin milih saya, Bang?” tanya saya.
Karena walaupun benar saya ikut menulis di Buku (In) Toleransi yang dieditori Bang TS, bukankah ini saya seperti akan masuk ke Kandang Macan? Tak terbayangkan! Tawaran menjadi pembicara di Kompleks KOMPAS/ Gramedia.
“Haqul yakin ....!” jawab Bang TS.
Tetap saja dag-dig-dug. Bahkan ketika perihal kegalauan ini saya di-wall-kan di FB, ada tercatat 167 teman yang mendukung dan mensupport: hayuk, sukses Ceu Entin dan seterusnya. Sebutan Ceu Entin itu karena saya menulis serial dengan nama tokoh Ceu Entin dan berbasa Sunda. Sudah dibukukan, dan sudah terjual lebih dari seratus eksmplar. Luar biasa untuk ukuran pemula bagi saya seorang guru Bahasa Indonesia di SMKN 1 Cianjur.
Meminta Izin ke Tempat Kerja
Berulang ulang. email yang saya terima, saya baca. Barangkali salah kirim.. Sampai kemudian, penanggung jawab acara menelpon dan meyakinkan bahwa saya memang berhak untuk menjadi pembicara. Beberapa saat saya mencoba untuk berfikir plus minusnya, sambil berusaha minta pendapat kepada orang orang terdekat. Namun, selalu mereka memberikan dukungan penuh, toh tidak ada salahnya dicoba. Sebenarnya saya sendiri pun sepeeti itu. Kesempatan belum tentu datang dua kali. Kesempatan datang kepada mereka yang berani mencoba.
Akhirnya, dengan berbekal izin suami, saya putuskan untuk meminta izin dari sekolah. Pihak sekolah ternyata ok ok saja, walaupun saya harus menunggu sampai H-1.Artinya, pihak sekolah memberikan restu kepada saya untuk menjadi narasumber. Alhamdulillah, karena bukan hanya pengalaman yang nanti akan saya dapatkan, namun bonus bonus yang lainnya pun sudah menunggu di hadapan mata saya. Bonus yang saya yakin, tidak semua orang dapat memperolehnya.
Perjalanan Ngoplah.
Sebenarnya, saya belum begitu faham, apa dan bagaimana Ngoplah. Saya tebak, acaranya seperti talk show, di mana di dalamnya berisi bedah buku. Ternyata tebakan saya benar juga. Setelah saya tanya ke bang TS, dengan panjang lebar beliau bilang, bahwa Ngoplah itu akronim dari Ngobrol di Palmerah.
Deg!!!