Lihat ke Halaman Asli

Iklan Susu, Susu Sapi untuk Anak Manusia

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1352576231378822960

Gemes nggak sih melihat iklan susu balita di TV yang menampilkan anak laki-laki kecil dalam sebuah upacara pernikahan, disitu dia bisa menciptakan alunan musik indah dari gelas-gelas kristal yang berdenting? Lucu? Tidak. Berlebihan? Iya. Apakah dengan meminum susu tersebut lantas seorang anak akan menjadi jenius? Konyol. Apakah mengharapkan anak-anak kita menjadi anak yang Super atau jenius sementara kita sendiri sebagai orang tua masih penuh dengan keterbatasan terdengar normal bagi anda? Lalu pertanyaan untuk saya, apakah saya ingin memiliki anak yang jenius seperti itu? Tidak. Jangankan memainkan musik dari gelas kristal, jika saya berikan sebuah seruling pada anak lelaki saya, yakin deh,  dia akan menggunakannya sebagai pedang untuk bermain perang-perangan dengan adiknya alih-alih meniupnya dengan merdu. Saya bukan Einstein atau Marie Curie, maka saya pun tidak menuntut anak saya menjadi Thomas Edison atau Bethoven. Siapa yang butuh anak jenius jika bisa memiliki anak yang sehat dan lincah, yang prestasi terbesarnya adalah mampu membaca buku dongengnya dengan terbata-bata, yang bisa mandi sendiri meski tangannya belum bisa menggosok punggungnya dengan sabun, yang setiap subuh selalu bangun nomor satu untuk mengajak orang tuanya sholat berjamaah. Jadi, apakah saya akan membeli susu itu untuk agar anak saya tahu cara bermain dengan gelas? Anda pasti bercanda! Itulah alasan kenapa saya “gemes” melihat iklan itu. Menurut saya iklan tersebut kurang membumi karena menampilkan sesuatu yang tidak familiar bagi saya sebagai seorang ibu dari dua anak balita. Sejujurnya saya cukup prihatin dengan para orang tua yang membebankan harapan terlalu tinggi pada anak-anaknya, menuntut terlalu banyak dari masa kecilnya untuk dipenuhi dengan prestasi-prestasi yang membanggakan orang tua di depan orang tua yang lainnya. Kemudian membanding-bandingkan prestasi tersebut dengan anak orang lain. Sebenarnya yang butuh prestasi siapa sih? Anak atau orangtuanya? Saya jadi ingat ketika menemani anak saya Keenan di hari pertama sekolah di sebuah TK di Jayapura, Papua lebih setahun yang lalu. Waktu itu Ibu guru di kelas memberi tugas anak-anak untuk meronce kalung dari sedotan warna-warni yang dipotong kecil-kecil. Nah, ketika Ibu Guru tersebut meninggalkan kelas untuk suatu keperluan, entah siapa yang memberi komando tapi serentak para orang tua langsung masuk menyerbu kedalam kelas untuk mengambil alih tugas anaknya. Jadilah pemandangan semacam ibu-ibu PKK sedang meronce kalung sedotan dengan kompetitif. Jangan sampai anaknya ketinggalan dengan anak yang lainnya. Oh...ya ampun! Menghadapi intervensi yang mendadak itu anak saya hanya bingung dan sedikit takut. Lalu saya yang menungguinya di kursi belakang  memberikan senyuman penuh arti untuk membesarkan hatinya. Saya bilang “tidak apa-apa sayang, pelan-pelan saja. Mas bisa kok!”. Hari itu saya tidak membantunya. Dan dia tahu bahwa saya bangga dengan apapun hasil yang dia peroleh. Itulah prestasi dia hari itu sebagai seorang murid, dan juga prestasi saya sebagai seorang ibu yang TIDAK tergoda untuk memberi kemudahan bagi putranya demi mengajarkan nilai kemandirian dan kebanggaan atas hasil karya sendiri. Eh, kembali soal iklan susu. Tidak semua iklan susu itu berlebihan lho! Misalnya saya paling suka kalau melihat iklan yang ini: Ketika seorang anak perempuan kecil membukakan pintu untuk tamu lalu membalas salam “waalaikumsalam!” lalu membawakan kueh untuk mereka. nah, yang ini terlihat lebih masuk akal dan lebih manusiawi. Saya bisa menerima ide itu, karena lebih “terjangkau” oleh kami para orangtua “normal”. Atau iklan yang menampilkan seorang anak perempuan yang menemukan kesenangan dengan memanfaatkan pantulan-pantulan cermin di kamar (mungkin wardrobe kamar tidur ibunya). Menurut saya itu adalah sebuah ide kejeniusan yang bisa ditemui sehari-hari. Khas masa kanak-kanak.  Sebenarnya masih banyak iklan-iklan susu anak yang bagus tanpa terkesan lebay. Saya paling suka jargon salah satu susu “ Life ready” atau “Life is an adventure”. Sangat nyata dengan dunia anak-anak yang memang tugas utamanya adalah bermain dan berpetualang dengan alam sekitar. Tanpa tuntutan untuk menjadi anak juara, super atau jenius. Bahagia menjadi diri mereka sendiri dan bebas menikmati dunianya sendiri. Yah, saya rasa semuanya kembali ke para orangtua masing-masing. Setiap orangtua tentunya memiliki harapan-harapannya tersendiri mengenai putra-putrinya. Hanya saja, tentu lebih bijak jika kita memberikan target-target prestasi atau pencapaian itu sesuai dengan kondisi faktual anak-anak kita. Setiap anak itu tiada yang sama, mereka terlahir berbeda. Dan mereka semua sesungguhnya istimewa, dengan caranya masing-masing untuk tumbuh dan dewasa. Bagaimana mungkin kita menuntut anak-anak kita untuk sempurna, sementara mereka sendiri tak pernah meminta kita untuk menjadi orang tua yang sempurna. Sebagai orangtua apakah kita sudah tanpa cela? Anak-anak tidak membutuhkan pemakluman, melainkan penerimaan. Acceptance. Mari kita rengkuh anak-anak kita dalam sebuah pelukan hangat yang memberi jaminan atas kasih sayang dan perlindungan bagi mereka. Unconditional, Free, No Charge. Jika kita sebagai orangtua sendiri tak mampu meyakinkan mereka bahwa setiap hal-hal kecil yang berhasil mereka capai adalah prestasi, bagaimana bisa mereka tumbuh menjadi anak yang percaya diri? Bagi saya pribadi, kecerdasan otak itu memang penting. Tapi, tidak lebih penting dari kecerdasan emosional. Buat saya, membangun karakter anak itu jauh lebih penting karena justru attitude lah yang akan banyak membantu kehidupan mereka kelak. Ilmu pengetahuan bisa didapat dari mana saja. Tapi pendidikan karakter dimulai dari dalam rumah. Mereka akan menemui begitu banyak guru sepanjang hidup mereka. Tapi guru karakter paling utama adalah kita para orangtua. Kesimpulan saya, tidak peduli apapun susu yang mereka minum, anak-anak adalah kebanggaan orangtua dengan segala daya upaya dan kreatifitasnya. Happy just the way they are.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline