Dalam perkembangannya, pemuda sering menjalani sosialisasi di lingkungannya melalui beberapa agaen sosiologi seperti keluarga (kinship), teman bermain (peer group), lingkungan masyarakat, institusi politik dan juga media (baik cetak maupun non-cetak ). Agen sosialisasi tersebut memiliki pengaruh yang besar kepada kepribadian dan sosialsisi norma individu. Selain itu, pemuda juga memiliki kehidupan sosial yang beragam, beberapa diantaranya ialah pemuda tidak mungkin terlepas dari pengaruh keluarga, teman sebaya, masyarakat, institusi pendidikan dan lingkungan lainnya, pemuda juga memiliki karakteristik yang unik karena perbedaan kepribadian pada diri setiap pemuda.
Beberapa perbedaan yang unik tersebut juga ditunjang dengan perbedaan bentuk, ukuran, sifat, karakter, perangai, gaya, dan selera pada diri seorang pemuda dalam memandang masa depannya, dan pola pemikirannya. Beberapa karakteristik pemuda tersebut nantinya akan membentuk dunia yang beragam dan saling menyatukan satu sama lain.
Perbedaan karakteristik pada diri pemuda melahirkan berbagai macam sifat pada diri pemuda, salah satunya ialah sifat buruk yang berujung pada tindak kriminalitas di dalam lingkungan pemuda. Pada era informasi yang begitu cepat seperti sekarang, banyak berita atau informasi yang baik ataupun buruk yang sering dimunculkan oleh portal-portal berita online atau offline.
Salah satu berita buruk yang sering dijumpai ialah bentuk kriminalitas yang terjadi di kalangan pemuda. Kriminalitas secara umum ialah semua tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum atau suatu tindak kejahatan. Pelaku penindakan kriminalitas disebut seorang kriminal. Tindakan kriminal dapat dilakukan siapapun dari gender dan umur yang berbeda, hal ini mengartikan pemuda berpotensi termasuk menjadi suatu pelaku kriminal selanjutnya.
Kriminalitas yang terjadi di lingkungan pemuda sering terjadi melalui berbagai macam jenis seperti perampokan, pengeroyokan, pelecehan dan lain lain. Bentuk kriminalitas yang dilakukan oleh pemuda didorong oleh beberapa faktor pendukung termasuk lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian yang mengungkapkan bahwa fase kehidupan yang paling riskan ialah fase remaja. Pada penelitian yang telah dilakukan tersebut terbukti bahwa 65% remaja memiliki masalah di keluarganya seperti masalah keuangan, percintaan, perceraian kedua orang tua, dan anggota keluarga yang meninggal.
Masalah-masalah tersebut ketika tidak didamaikan sendiri oleh dirinya, maka pemuda akan terus mencari kesenangan atau bentuk validasi atas dirinya sendiri, seperti rasa berani yang tidak divalidasikan oleh orangtua sehingga ia melakukan pembegalan untuk memvalidasikan dirinya bahwa ia adalah pribadi yang berani. Proses pendamaian inilah yang akan membawa pemuda ke gerbang kriminalitas jika proses perdamaian gagal.
Romli Atmasasmita memberikan pendapat mengenai perilaku kriminalitas pemuda, pemuda yang melakukan perilaku kriminalitas disebut dengan Juvenile delinquency ialah sebuah perbuatan atau perilaku seorang anak di bawah umur 18 tahun yang melanggar norma-norma hukum yang berlaku dan mampu membahayakan perkembangan pribadi anak tersebut. Pemuda menjadi sosok yang sering terpapar pengaruh kriminalitas di lingkungannya karena masa remaja menjadi masa yang diberikan istilah Masa Pemberontakan.
Masa Pemberontakan pada diri pemuda ditandai dengan gejolak emosi yang beragam, penarikan diri dari keluarga dan munculnya banyak masalah di lingkungan sekitarnya. Kartono, seorang sosiolog berpaendapat bahwa kriminalitas dapat terjadi pada diri pemuda ketika ia mengalami kegagalan dalam melewati masa transisi dirinya dari anak kecil menjadi sosok dewasa, hal lain juga dapat terjadi karena lemahnya pertahanan diri pada diri pemuda terhadap adanya pengaruh yang buruk dari dunia luar.
Tokoh lain yang berbicara tentang kriminalitas pada perilaku pemuda ialah Soerjono Soekanto. Beliau berpendapat tentang adanya kriminalitas melalui istilah delinkuensi. Menurutnya, delinkuensi yang ada dan terkenal pada diri seorang anak-anak di Indonesia ialah permasalahan mengenai cross boys dan cross girls. Cross boys dan Cross Girls merupakan istilah yang dikeluarkan bagi pemuda yang tergabung pada organisasi atau ikatan baik dalam berupa formal maupun informal yang memiliki tingkah laku yang tidak diterima masyarakat atau norma.
Delinkuensi di Indonesia yang terjadi pada anak-anak mengalami peningkatan pada tahun 1956,1958, dan pada 1968 hingga 1969. Bentuk delinkuensi yang terjadi pada pemuda memiliki berbagai jenis seperti pencurian, narkoba, pengeroyokan, pelanggaran norma-norma dan lain sebagainya.
Bentuk kriminalitas pada diri pemuda terjadi melalui berbagai macam faktor diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal bentuk kriminalitas pada diri pemuda meliputi krisis identitas yang terjadi pada diri remaja, bentuk kontrol diri yang lemah, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal dapat meliputi lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan lingkungan sekolah/ masyarakat di sekitar diri pemuda yang kurang kondusif. Dari berbagai faktor pengaruh tersebut, faktor peran orang tua menjadi faktor yang krusial dalam pengembangan diri seorang remaja.