Masih segar dalam ingatan tragedi yang melanda perekonomian Indonesia tahun 1998 lalu. Sebuah periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia, membalikkan semua mimpi indah menyongsong milenium ketiga. Bak bola salju, dampak yang timbul merembet ke semua sektor, bukan hanya ekonomi, namun berimbas pula ke sosial dan politik.
Harga bahan pokok yang melambung tak terkendali, pemutusan hubungan kerja dimana-mana, ratusan perusahaan yang kembang kempis mempertahankan diri meskipun pada akhirnya menyandang status "insolvent" alias "bangkrut", grafik pengangguran yang melambung tak terkendali, angka kriminalitas yang tak terbendung dan bahkan tahta Presiden Soeharto pun ikut goyah.
Rupiah dan bursa saham juga seolah tak mau ketinggalan turut menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian. Parahnya lagi, hutang luar negeri sekitar 20 M dollar AS jatuh tempo ditahun itu, dan ironisnya cadangan devisa tak mampu menanggung semua beban kerapuhan fundamental kala itu. Begitu hebat dampak dari tragedi yang bernama "krisis moneter".
Beranjak dari tragedi itu, pemerintah terus berupaya melakukan pembenahan dan pemulihan di semua sektor, mulai dari percepatan pembangunan infrastruktur, pembenahan atas perijinan pembangunan sektor industri, mendorong industri dasar seperti besi, baja dan petrokimia untuk semakin meningkatkan kinerjanya maupun dengan melakukan perbaikan sektor pariwisata sebagai penyumbang pendapatan negara. Perlahan, upaya tersebut membuahkan hasil. Kondisi politik sudah mulai stabil, geliat roda perekonomian sudah mulai terlihat.
Dua puluh satu tahun telah berlalu. Apakah badai perekonomian itu kembali menyapa?
Seiring berjalannya waktu, makin pesatnya kemajuan teknologi, dan makin besarnya pengaruh globalisasi, justru maka makin besar risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Kalau krisis moneter sudah berlalu, maka ketidakpastian ekonomi global menjadi tantangan utama dalam menjalankan roda perekonomian kita saat ini. Meskipun dampaknya tidak separah krisis moneter kala itu, namun tetap saja menjadi penghambat melajunya roda perekonomian.
Peningkatan tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, belum adanya kesepakatan diantara Inggris dan Uni Eropa sehubungan dengan keluarnya negeri itu dari Uni Eropa (Brexit), maupun pertumbuhan ekonomi China yang belum pulih menjadi penyebab utama naik turunnya pertumbuhan ekonomi global.
Tiongkok dan AS merupakan dua negara penguasa ekonomi dunia, sehingga eskalasi yang terjadi di antara kedua negara itu akan menimbulkan efek berantai terhadap negara-negara lainnya. Apalagi awal tahun 2019 lalu sudah ada lampu merah dari Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa risiko ketidakpastian global ini akan meningkat yang dampaknya sampai di Indonesia. Risiko ini tercermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini yang turun menjadi 3,5% dari 3,7%, sedangkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia diprediksi menjadi 5,1% dari 5,2%. Warning dari IMF ini bisa kita baca di Tribun Bisnis edisi Senin, 24 Juni 2019.
Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita ulas sedikit mengenai hubungan ketidakpastian ekonomi global dengan pertumbuhan perekonomian nasional.
Pertama, dengan adanya perang dagang AS dan Tiongkok membuat setiap negara membuat regulasi sistem perdagangannya yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi dunia dan menciptakan high cost economy.
Kedua, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang, menjadi terganggu karena sektor industri dalam negeri menjadi tertekan sebagai dampak dari membludaknya barang-barang supply dari Tiongkok yang tidak bisa masuk ke AS.