Lihat ke Halaman Asli

Titipan

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini bercerita tentang Mbah Engkrak, si penjual pisang keliling di sebuah perumahan. Mbah Engkrak adalah sosok sederhana, berumur enam puluhan, rambut beruban, dengan tubuh agak gemuk dan kulit coklat terbakar matahari. Nyaris tiap hari Mbah Engkrak berkeliling menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki,panas terik atau hujan tak dihiraukan. Banyak yang berfikir, seharusnya di usia ini, Mbah Engkrak hanya perlu duduk dan menikmati hidup, bukannya melangkah dengan kaki tuanya yang mulai terserang rematik.

Tidak banyak informasi yang diketahui oleh para pelanggannya, yang semuanya ibu ibu, selain bahwa Mbah Engkrak adalah pedagang pisang keliling, yang mendapatkan dagangannya dari hasil panen kebunnya sendiri, beliau memiliki dua orang anak yang masih tinggal bersamanya, dan suaminya masih hidup, yang menghabiskan waktunya bertani. Mereka sekeluarga tinggal di gubuk kecil di ujung kampung.

Beberapa ibu kadang merasa kasihan, mereka membagi makanan, atau pakaian bekas, ada pula yang menawarkan uang, namun untuk yang satu ini, Mbah Engkrak selalu menolak. Perempuan tua itu selalu berdalih, dengan hasil jualan hari itu, keluarganya bisa makan dengan cukup.

Suatu saat, salah seorang ibu di perumahan hendak melakukan hajat, ia ingin memesan beberapa tandang pisang. Bermodal alamat sekedarnya, ibu tersebut tiba di kampung Mbah Engkrak, benar juga,kampung itu tidak punya nama gang atau nomer rumah. sejauh mata memandang rumah rumah yang dibangun saling berjauhan layaknya rumah kampung, tidak berdempetan seperti rumahnya. Petunjuk pasti yang diberikan Mbah Engkrak hanyalah 'Tanya saja rumah Mbah Engkrak, pasti semua tahu', untunglah, memang kenyataannya begitu, seorang anak kecil menunjuk ke arah gang selebar empat meter. 'rumah Mbah Engkrak yang paling ujung...'

Di ujung gang, ada dua rumah cukup besar, dan agak jauh terdapat gubuk yang mirip kandang, dengan dinding kayu. Gubuk itu sangat kecil, mungkin 3x4 meter besarnya, dan atapnya pun sangat rendah. inikah gubuk yang selalu dibicarakan Mbah Engkrak?. Pemandangan tersebut sangat kontras dengan dua rumah yang mengapitnya.

Gubuk itu sepi, dan pintunya tertutup. Seorang lelaki tua berjalan dengan tandang pisang yang mengisi pikulan, si ibu menebak ini adalah suami Mbah Engkrak.
' nyari siapa, Bu?' tanyanya dengan logat jawa yang kental.
'Mbah Engkrak, Pak. Mbah Engkraknya ada?'
Lelaki tua itu menurunkan pikulannya, dan menaruh pisangnya di muka pintu.
' ada di rumah, mungkin lagi masak, ke rumah wae...', dan tangannya menunjuk rumah besar di samping kanan mereka. Jadi bukan ini to gubuknya Mbah Engkrak itu?

si ibu makin terheran heran saat memasuki rumah tersebut. rumah itu memang berbau rumah jawa yang kental dengan buffet kayu jati, dan meja kursi jati klasik. Harganya pasti tidak murah, dan sepertinya mustahil kalau didapat dari menjual pisang tiga hingga empat kali seminggu.

Di hari yang disepakati, pesanan pisang diantar, pengantarnya bukan Mbah Engkrak namun seorang lelaki setengah baya dengan mobil pick up.
' la Mbah Engkraknya mana, Pak?'
'di rumah, Bu, lagi mantuin tetangga yang hajatan...'
Dari sang bapak, mengalirlah informasi tentang Mbah Engrak, bahwa ia tidak semiskin penampikan dan ceritanya, ia cukup terpandang di kampung, sawahnya banyak, kebun dan ladangnya di mana mana. Keluarga tersebut cukup secara materi, ibarat kata, walau menganggur tidak habis harta dimakan tujuh turunan, namun pasangan suami istri tersebut tetap bekerja, walau ada orang orang yang dipekerjakan untuk mengurus sawah dan ladangnya. Ia dan keluarganya pun sangat ringan tangan, mulai dari uang hingga tenaga mereka curahkan untuk membantu orang lain.
Di pertemuan berikutnya, tak kala Mbah Engkrak tengah meletakkan tandangan pisangnya di pelataran rumah, Ibu tersebut bertanya, mengapa Mbah Engrak tidak pernah menceritakan yang sebenarnya?, dan malah memiskinkan dirinya sendiri dengan selalu mengatakan tidak punya apa apa.
Mbah Engkrak hanya tersenyum' lha memang saya ini ndak punya apa apa kok, Bu...'
Si ibu mengungkit tentang rumah,kebun dan sawah serta harta lain yang dimiliki.
' itu bukan punya saya kok, Bu..'
' trus punyane sapa?', si ibu bersiap, andai Mbah Engkrak mengatakan kalau itu punya suaminya, dia akan menjelaskan tentang harta pernikahan dan lain sebagainya. Mungkin Mbah Engjrak gak ngerti kalau harta suami saat menikah juga menjadi milik istri.
' punyane Gusti Allah, Bu, semuanya itu cuma titipan...'
Ibu tersebut terdiam, tak memiliki argumen lain. Mbah Engkrak yang katanya tidak sekolah tidak bisa baca tulis, tidak pernah kuliah filsafat, namun memiliki pemikiran yang begitu dalam.
Inilah kebenarannya, semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah SWT, mungkin di antara kita ada yang dititipi sangat banyak oleh Allah SWT, ada yang dititipi secukupnya, dan ada yang merasa dititipi sangat sedikit. Bersyukurlah bagi yang dititipi sedikit, karena semakin sedikit pertanggungjawaban Anda, yang dititipi banyak, lebih bijaklah dalam merawat titipan tersebut, jangan takabur, toh itu hakikatnya bukan milik Anda.
Bagi semuanya, berlapang hatilah, karena namanya titipan, cepat atau lambat akan diambil Empunya. semakin sedikit rasa memiliki, semakin sedikit rasa kehilangan. Mari kita belajar dari Mbah Engkrak, yang menjaga titipanNya dengan rendah hati, dan selalu siap akan kemungkinan diambilnya TitipanNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline