Lihat ke Halaman Asli

Jakarta, Pilkada, dan Warganya

Diperbarui: 17 April 2017   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dua hari lagi, Jakarta akan memasuki babak akhir dari Pemilihan Kepala Daerah, atau Pilkada. Dari tiga pasang Cagub dan Cawagub di Pilkada edisi pertama, pasangan nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih akrab dipanggil Ahok dan Djarot Saiful Hidayat serta pasangan nomor urut tiga Anies Baswedan dan Sandiaga Uno mendapat suara terbanyak dan melenggang masuk ke putaran kedua, menyisihkan pasangan nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Pilkada putaran kedua sendiri akan dilaksanakan pada tanggal 19 April 2017.

Tulisan ini tidak akan membahas lagi mengenai kedua pasang calon ataupun program-programnya, yang pasti sudah banyak dikupas entah melalui debat di TV ataupun tulisan-tulisan di berbagai media. Tulisan ini akan lebih membicarakan mengenai para pemilih di Jakarta, bagaimana mereka menghadapi Pilkada kali ini yang sering disebut “Pilkada rasa Pilpres.”

Di Pilkada ini, saya merasa bahwa para pendukung semakin beringas dalam mendukung pasangan calon idolanya. Berbagai cara dihalalkan, yang paling parah adalah menyebarkan fitnah dan berita-berita bohong atau hoax yang penuh kebencian. Cara ini menurut saya adalah cara paling menjijikan dan pengecut, karena membawa efek yang berimbas tidak hanya selama masa sebelum pemilihan, namun juga setelahnya.

Sebelum membahas efek tersebut, ada 3 jenis kampanye yang sering dilakukan. Pertama adalah kampanye positif, yang dari bunyinya sendiri sudah pasti tentang mengedepankan calon pilihan. Contohnya, pasangan A memiliki program yang bagus dan realistis, atau pasangan B memiliki rekam jejak yang bagus sebagai pemimpin.

Kedua adalah kampanye negatif. Meskipun kedengarannya tidak enak, namun kampanye ini bertujuan untuk mengungkap fakta dari paslon lawan. Kampanye ini menurut masih bertujuan baik, yang tentu saja kita sebagai pemilih tidak ingin dipimpin oleh calon yang terbukti pernah melakukan tindakan-tindakan negatif. Contoh kampanye negatif adalah paslon A ternyata pernah terbukti memiliki kasus pelecehan wanita, atau program yang dikedepankan paslon B tidak masuk akal atau hanya janji-janji palsu.

Yang terakhir, dan yang menurut saya paling buruk, adalah kampanye hitam atau black campaign. Kampanye ini dilakukan dengan menyebarkan fitnah dan berita-berita yang tidak mendasar. Dari Pilpres tahun 2014 cara ini sudah banyak dipakai dan di Pilkada ini sepertinya semakin marak. Apalagi kalau sudah membawa-bawa isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Salah satu contoh kampanye hitam adalah memelintir omongan atau pernyataan salah satu paslon yang bisa memicu kebencian ataupun menyebarkan pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal seperti orang yang berasal dari suku dan/atau agama tertentu tidak pantas untuk menjadi pemimpin.

Banyak orang yang masih sulit membedakan antara kampanye negatif dan kampanye hitam. Cara paling mudah adalah, ketika kita membaca berita-berita tentang paslon, biasakan untuk mencari tahu dulu kebenarannya, yang bisa dilakukan dengan mencari tahu apakah dari sumber yang kredibel atau periksa kembali dari sumber lain yang terpercaya, apakah sama atau tidak.

Kampanye hitam bisa menyebabkan munculnya kebencian di antara para pendukung. Padahal belum tentu benar, namun mereka menelan mentah-mentah saja. Yang lebih parah lagi, malah ikut menyebarkan berita bohong tersebut. Yang paling menyedihkan adalah bisa terjadi “perang saudara,” hanya karena perbedaan pilihan.

Belum lagi efeknya terhadap para calon. Salah satu dari mereka yang terpilih, akan mendapat kebencian dari apa yang tidak pernah mereka lakukan. Tentu saja nantinya akan berimbas lebih lanjut, dalam konteks ini Jakarta, bisa terhambat kemajuannya. Pendukung yang karena bukan calon andalan mereka yang terpilih, malah memilih buat menghambat kinerjanya atau bahkan menjatuhkan Gubernur terpilih.

Inilah yang perlu ditanamkan kepada para pemilih. Dukunglah paslon sewajarnya. Pelajarilah program yang diusung sebaik mungkin dan rekam jejak para paslon. Jangan berlebihan untuk mendukung paslon idola dan jangan baper. Anda harus siap untuk kecewa, entah saat paslon idola kalah, atau justru saat mereka menang.

Mengapa saat menang juga? Karena nantinya, belum tentu program yang diusung akan terlaksana karena berbagai alasan. Karena nantinya, belum tentu dia akan tetap menjadi orang seperti masa kampanya. Karena nantinya, mungkin saja malah bekerja sama dengan paslon lawan ataupun kelompok yang berseberangan pada saat kampanye.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline