Islam mengajarkan : janganlah memberi dengan menyakiti hati penerima, dengan menyebut-nyebut dan mengungkitnya (QS 2:264). Terus, apakah orang yang memberi lebih hebat dibandingkan yang menerima? Apakah tangan di atas lebih baik dibandingkan tangan di bawah?
Sesungguhnya memberi itu membuat hati bahagia, dan para orang yang diberi memberi jalan kebahagiaan bagi yang diberi. Semakin banyak harta kita, dan banyak memberi, kita merasa bahagia berlipat karena merasa hidup kita memiliki arti.
Namun Islam juga mengajarkan, jangan berlebih-lebihan saat memberi, jangan terlalu mengulurkan dan jangan juga terlalu kikir, sebaik-baiknya orang adalah yang berlaku adil pada dirinya sendiri dan orang lain. Setiap muslim diajarkan untuk memikirkan hari esoknya.
Kita hidup bukan di zaman Rasulullah, yang dengan lantang Abu Bakar berkata, saat memberikan seluruh hartanya bagi perjuangan dakwah, "Cukuplah, tinggal Allah dan Rasul-Nya." Kita hidup di zaman, mungkin cicilan mobil atau rumah yang harus dibayar. Mungkin juga harus menyiapkan biaya pendidikan anak-anak. Setiap orang perlu proporsional saat memberi.
Menjadi seorang penderma itu tidak lebih mulia dibandingkan yang diberi derma. Keduanya sama-sama mulia. Sepanjang kita hidup, kita akan selalu ada dalam posisi memberi dan menerima.
Di lain waktu, kita yang menjadi penerima. Kesalehan sosial, selalu mewujud dalam rupa yang berbeda, bisa jadi yang memberi, bisa jadi yang menyalurkan, bisa juga menjadi penerima yang memberikan jalan bagi orang lain mengekspresikan cinta dan kepedulian.
Saya terkenang pada tulisan Sindhunata : "Jadi kau jangan bermegah atau sombong kalau telah melakukan perbuatan baik, kau hanyalah jalan dan kesempatan bagi kebaikan itu untuk menjelma."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H