Hari cerah ketika menuju Saenam sore itu. Perjalanan mendaki dengan jalanan aspal yang sebagian telah rusak dengan menggunakan ojek yang dikendarai Dedi, penduduk lokal asli Suku Dawan.
Dua motor lainnya dikendarai oleh Firmon Adrian berboncengan dengan calon istrinya, Ido Naben yang menggendong Caca keponakannya. Dan satu motor dikendarai oleh Win Naben, ibunya Caca.
Mereka semuanya penduduk dalam satu kecamatan yang sama di Miomaffo Barat. Saya sudah ketiga kalinya mengunjungi Miomaffo Barat, Timor Tengah Utara - tepatnya ke Eban. Namun pergi ke Saenam, salah satu desa tetangga dari Eban - ini baru pertama kalinya.
Seperti halnya desa tetangganya, Eban yang sangat indah dan romantis - Saenam pun demikian. Sergapan sunyi dan Angin Timor serta luruh dedaunan di sepanjang perjalanan dengan dahan-dahan yang menari-nari menjadi suguhan alam yang membawa jiwa saya terbang ke langit yang tinggi.
Barangkali juga karena bebukitan padang-padang savana yang dibaluti rerumputan dan menyembul di antaranya bunga-bunga liar indah yang tumbuh di mana pun mereka mau.
Pohon-pohon pinus, ampupu dan mahoni menjulang tinggi. Saya merasa bukan sedang berada di daratan Timor yang terkenal gersang - ini wilayah Timor yang sama sekali tak terbayangkan.
Saya memandangi padang-padang savana dan bukit-bukit sejauh titik penglihatan saya berhenti, sambil menerka-nerka -- apa yang ada di balik bukit sana? Suara burung apa yang bernyanyi di pepohonan yang tinggi. Kuda-kuda merumput dengan tenang. Sapi-sapi berjalan-jalan kian kemari di bukit-bukit tak berpenghuni. Tak ada seorang pun yang mengganggunya. Merdeka sekali.
Kupandangi Firmon Adrian, lelaki Timor yang lembut dan tenang -- serta Ido Naben yang penuh perhatian. Mereka saling melemparkan senyum dan tertawa berderai bersama sambil menuruni bukit. Kunikmati Win Naben yang keibuan dengan putrinya yang ceria, Caca..berlari-lari sembari tertawa-tawa.
Mereka pemandangan yang indah, yang membuatku tersenyum bahagia. Kulihat Dedi yang pikirannya tak terbaca - yang harus terus bersiap-siap kesabarannya diuji oleh penumpangnya yang kalap melihat seluruh suguhan alam Saenam yang terberkati.
Jika saja ada seribu alasan -- saya akan bertahan di sini -- mengikuti kata hati ke mana akan pergi. Namun senja terus meninggi. Dan memang saya harus pergi -- untuk kembali. Begitulah orang yang jatuh hati pada Tanah Timor, selalu ada alasan untuk bertahan dan kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H