Sebenarnya, yang membuat rumit itu masalah itu adalah diri kita sendiri. Pikiran rumit karena ia belum mencapai pada pembelajaran hidup, bagaimana berpikir logis. Perasaan menjadi rumit, karena mengundang terlalu banyak persoalan yang tak selayaknya dirasa-rasakan. Hidup ini begitu sederhana, jika mengerti cara menikmatinya, tanpa harus mengada-ada, dan membiasakan meletakan masalah pada tempatnya. Pada suatu malam, ada seorang ibu rumah tangga yang datang ke rumah. Mula-mula, ia bercerita soal anak-anak dan suaminya. Ia mengkhawatirkan masalah-masalah yang remeh temeh, soal, bagaimana dengan masa depan anak-anaknya kelak. Ia juga mengkhawatirkan soal suaminya yang sakit-sakitan. Berlanjut kemudian, ia menceritakan salah satu tetangganya. Suami tetangga itu selingkuh. Tentunya dengan perempuan lain. Konon, sang istri mengadu padanya. Dia berkata, ‘Saya tak habis pikir, bagaimana dia bisa menceraikan istrinya yang baik untuk berselingkuh dengan perempuan lain. Istrinya lebih cantik, anggun dan dari keluarga yang terhormat. Di mana pikiran lelaki itu..!’ ‘Suatu hari, lelaki itu akan menyadarinya, hanya butuh waktu saja. Terjerembab dalam kesalahan itu terkadang perlu, agar dia belajar tetang kebenaran.’ ‘Setelah keluarganya hancur..?’ ‘Semua akan belajar. Tuhan tidak akan menyatukan emas dengan loyang dalam senyawa yang sama. Itu pola rahasia kerja Tuhan untuk memisahkan kebersamaan orang yang tidak sehaluan, dengan misteri yang sulit kita ketahui maksud-Nya.’ ‘Tetapi, mengapa orang sebaik istri dan anak-anaknya menjadi korban, dan harus ada yang disakiti?’ ‘Istrinya sedang dimuliakan Tuhan, ia sedang diajarkan kesabaran. Dan, bagi kita juga ini latihan kemuliaan ahlak, untuk tidak mencacinya dan bergosip tentangnya. Peristiwa seperti ini bisa terjadi pada siapa saja. Hanya kebetulan saja mereka terpilih di dunia ini mendapatkan peran seperti itu. Jika tidak diminta untuk menjadi bagian penyelesaian kehidupannya, setidaknya kita mendo’akannya. Seandainya kita tidak bisa mendo’akannya, selemah-lemah kita adalah tidak menggunjingkannya.’ Perempuan itu terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Tetapi, lucunya, beberapa saat kemudian ia menceritakan lagi soal perlakuan-perlakuan tetangga pada dirinya. Juga ketakutan-ketakutannya pada pandangan tetangga jika melakukan ini dan itu. Ia juga menyesali, mengapa ada orang yang berprasangka buruk pada dirinya, dan salah tafsir terhadap kata-katanya kemudian membicarakan dia dibelakang. Itu sangat menyakiti dan melucuti harga dirinya. ‘ Bu, bukannya melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang salah itu, jika tak memperbaiki diri. Setelah menyesali dan memperbaiki diri, sudahlah, itu urusan Tuhan saja mengkalkulasi. Adapun orang-orang yang membicarakan diri kita di belakang, itupun manusiawi. Sama halnya dengan kita, yang tak mungkin bisa mengendalikan jalannya semesta raya. Pikiran dan perasaan orang lain itu di luar jangkauan, kita hanya bisa menciptakan kesan tentang diri kita pada orang. Soal penilaian, itu hak pribadi orang. Tugas kita di dunia hanya menanamkan kebaikan dan berbuat baik. Adapun ketika kita masih diperbincangkan juga di belakang, biar saja..itu bukan urusan kita. Biarkan saja mereka diurus oleh Tuhan..!’ Kompleksitas Pikiran Manusia Seperti gerobak, manusia itu seringkali membawa-bawa ‘sampah informasi’ ke mana-mana. Sampah itu ada di dalam pikiran dan perasaan. ‘Sampah’ yang diseret-seret ke manapun ia pergi. Semua masalah yang bukan urusan dirinya dimasukan tanpa filter. Baik soal-soal di masa lalu, dan masa sekarang. Seolah semua masalah orang adalah masalah dirinya. Lucunya, sebegitu banyak masalah hidup yang harus ia selesaikan dan dihadapi, alih-alih menyelesaikan masalah-masalah pribadinya, ia masih ‘rakus’ memata-matai hidup orang lain di sekitarnya. Mereka memasukkan berita remeh-temeh gosip-gosip yang bertebaran di layar kaca atau di jejaring sosial ke dalam pikirannya. Apa yang menarik dari urusan pribadi orang, bukankah kita juga sudah sedemikian rumit dengan hidup kita sendiri yang belum memberi manfaat bagi sesama dan meninggalkan jejak bagi kehidupan ini? Manusia ini makhluk yang ‘kreatif’, terkadang, sering mengundang kerumitan-kerumitan dalam pikiran dan perasaannya sendiri. Padahal, kita memiliki naskah hidup sendiri-sendiri yang harus dimainkan. Kurang elok dipandang jika menjadi juri atas hidup orang lain. Bagi ibu rumah tangga seperti dia, ia memiliki tugas mulia, mengurus dan mendidik anak-anak, membersihkan dan merawat rumah serta halaman. Ia memiliki banyak waktu luang untuk menghafal Al Qur’an, memperbanyak shalat dan shaum serta membaca buku, dan lainnya. Rasa-rasanya, tidak begitu perlu memaksakan diri untuk melibat pada hubungan-hubungan dengan alasan interaksi sosial jika tidak memberi banyak manfaat. Berbincang ngalor-ngidul dengan sesama tanpa topik yang jelas. Kebanyakan bicara dan kebanyakan ‘beredar’ di luar sana, jika tidak terlalu penting, bukan hanya membuang waktu tetapi menjadi jalan memasuki pertengkaran dan kesalahpahaman. Mungkin benar kata-kata kata-kata dari Socrates, ‘ Bahagia itu sederhana’. Termasuk di dalamnya, menyederhanakan urusan-urusan dalam hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H