Ada orang yang senang mempertontonkan kebaikan dan kesalehannya, dan ada orang yang senang menyembunyikannya. Diantara kedua kutub itu, ada orang yang kadang menyembunyikan kadang menunjukkannya kepada orang lain. Umumnya orang ada diantara kedua kutub ekstrim itu. Menyoal tentang pertunjukkan kebaikan ini, saya teringat cerita dalam kisah sufi. Ada seseorang yang dihormati dan dikagumi banyak orang karena kesalehannya. Kata-katanya dianggap wangsit, bertemu dengannya dianggap sebagai berkah. Orang-orang memujanya dan menganggapnya sebagai orang keramat yang menjadi salah satu wali Tuhan. Melihat gelagat orang-orang yang menganggap dirinya memiliki karomah, ia pun menjadi gelisah dan berpikir bagaimana cara menghentikanya. Sang sufi kemudian membuat onar di pasar, supaya orang-orang berbalik membencinya. Ia ingin memperlihatkan kepada semua orang sebagai manusia yang tidak sempurna. Terjebak Pada Simbol Citra diri bagi segelintir orang begitu penting. Tak heran jika dalam pemilukada atau pemilu legislatif bakal calon menampilkan diri sebagai sosok yang religius dan bermoral. Ia membariskan daftar jasa-jasanya kepada masyarakat. Tak berhenti sampai disana, ia menampilkan dirinya dengan simbol-simbol ketakwaan, seperti kopiah, kafiyeh, gamis atau baju takwa, asesoris tasbih, dsb. Simbol -simbol moralitas dan agama seperti "barang mainan" saja untuk menuju puncak kekuasaan. Sebenarnya. pencitraan ini bukan hanya sebatas pada orang yang minta dukungan rakyat saja agar dirinya berkuasa, dalam keseharian ketika orang-orang yang menyadari akan pentingnya citra diri dan popularitas, mereka semakin lihay memanipulasi diri agar semua orang disekitar menaruh hormat, respek dan simpati kepadanya. Sarananya banyak, bisa melalui jejaring sosial dengan status-status yang hebat-hebat tentang dirinya, atau media massa dan lainnya. Jadi, bukan hanya simbol secara kebendaan saja yang dapat dijadikan fasilitas pertunjukkan citra diri, namun juga pemilihan kata-kata, foto-foto yang diatur sedemikian rupa sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi persepsi orang, agar dipandang sebagai orang yang sarat dengan kesempurnaan. Apakah ini salah? Tidak ada yang berani menyalahkan. Kita tidak pernah mengetahui sedalam apa kesalehan seseorang, dan kita tak akan mampu mengukur serajat ketulusanseseorang, apakah ia ikhlas atau memiliki motif tersembunyi. Setiap orang memiliki ekspresinya masing-masing yang menjadi hak prerogatif atas dirinya sendiri. Semua Pilihan Itu Beresiko Narsisme kebaikan dan jasa-jasa diri ataupun kita akan menutupinya, sesungguhnyaa semua itu adalah pilihan. Kita ingin mempertunjukkan simbol-simbol kesalehan dan ketakwaan atau kita akan memperlihatkan diri kepada khalayak apa adanya, bahkan ada yang memilih seadanya, itu juga pilihan. Setiap pilihan memiliki derajat resikonya masing-masing yang kelak harus ditanggung. Entahlah, bagi saya secara pribadi, saya lebih menyukai orang-orang dengan tingkah laku yang wajar, banyak melakukan kebaikannya secara real, bukan dalam bentuk simbol-simbol, slogan di spanduk dan pamflet atau retorika yang hebat di media massa. Saya selalu senang berteman dengan orang-orang yang banyak kebaikan tetapi juga melakukan kesalahan dan hal-hal yang konyol dalam hidupnya, sepanjang kesalahan itu tidak membahayakan jiwa dan raga saya serta orang lain. Ini membuat saya yakin bahwa saya sedang berteman dengan manusia. Mempertunjukkan kesempurnaan diri dan citra diri yang hebat bagi saya pribadi akan sangat terasa menyiksa, terutama karena merasa penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Sebagai alasan ngeles yang lainnya, saya merasa pertunjukkan yang hebat selalu menuntut pengorbanan yang luar biasa, dan integritas diri harus selalu prima dan terjaga. Sungguh saya tidak sanggup melakukannya. ________ Bandung, 26 Juli 2012 sumber gambar :www.thinklikeahorse.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H