Lihat ke Halaman Asli

Erna Suminar

Pembelajar, sederhana dan bahagia

Merekayasa Citra Kandidat untuk Pilpres 2014 (Dalam Kajian Komunikasi)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

130132721143047172

Kampanye pemilihan presiden 2014 masih lama. Masih tiga tahun lagi. Namun, partai-partai politik di Indonesia sepertinya sudah membuat ancang-ancang siapa yang akan dielus menjadi kandidat presiden Indonesia berikutnya. Pilpres akan membuat tim sukses bekerja keras untuk mengelola citra positif agar kandidat dapat memenangkan kursi RI 1 dan RI 2.

Beberapa nama sudah mulai beredar, misalnya Prabowo Subianto dan sempat disebut-sebut pula nama Anas Urbaningrum serta Puan Maharani. Entah siapa kandidat yang benar-benar pasti. Belum ada yangtampil dan disebut secara terang-terangan . Siapapun yang jadi kandidat, para tim suksesnya kemungkinan sudah hitung-hitungan untuk mendongkrak citra sang calon. Entah melalui iklan atau berita-berita terselubung. Sebenarnya, sejauh mana pencitraan ini berdampak pada persepsi masyarakat tentang kandidat calon presiden ?

Citra disebut sebagai picture on our head. Sebuah lukisan pikiran, yang belum tentu sesuai dengan aslinya. Seorang bajingan bisa jadi pahlawan dalam pencitraan melalui media. Demikian pula sebaliknya, seorang pahlawan dapat digambarkan sebagai pecundang tergantung konstruksi yang dibangun oleh media. Dan kesuksesan itu diperoleh apabila tim sukses mampu mengelola dan merancang citrakandidat. Karena itu, tak pelak lagi anggaran belanja kampanye sangat besar untuk kepentingan pencitraan ini.

Namun ternyata, di negara-negara Barat, kampanye politik melalui media massa tidak terlalu banyak merubah pandangan. Dalam teori kategori sosial Melvin D. Fleur, menyebutkan, massa cenderung memilih pesan yang sesuai dan menghindari pesan yang tidak sesuai. Artinya, ada persepsi publikyang sudah mengakar dalam pikiran tentang siapa yang sesuai dengan pandangannya berdasarkan latar belakang kandidat tersebut.

Jika menimbang pemikiran tersebut, maka Puan Maharani akan lebih mungkin diterima oleh warga PDI-P tetapi agak sulit diterima oleh mayoritas yang berlatar Muhammadiyah atau Persis dan beberapa organisasi Islam lainnya. Karena itu, jika Puan Maharani bertekad ingin jadi presiden, harus mau menembus sekat-sekat ini. Demikian pula dengan Prabowo Subianto. Kegagalan dalam pilpres tahun 2009 dapat dijadikan ukuran popularitasnya di masyarakat, walaupun masih memungkinkan untuk mengikutinya kembali.

Lain halnya dengan Anas Urbaningrum, ia dikenal sebagai politikus yang tenang, terbuka dan santun. Sebagai mantan ketua Himpunan Mahasiswa Islam, tidak terlalu sulit baginya masuk dalam lapisan-lapisan kalangan Islam dan juga tidak terlalu sulit baginya masuk dalam wilayah multi etnis dan multi keyakinan, karena tokh Partai Demokrat pun adalah partai nasionalis. Walau pun waktu juga yang akan mengujinya.

Masih segar dalam ingatan, pengalaman pilpres 2009 yang lalu. Ketika tim sukses sudah bekerja habis-habisan, akhirnya kandidat presiden di ujimelalui debat calon presiden dan wakil presiden. Kandidat memperlihatkan kapasitasdan kredibilitas masing-masing. Terbukti, ada calon presiden kalau ditanya jaka sembung naik ojek, kagak nyambung jek. Sempat ada yang minta diulang pertanyaan dan curhat di panggung. Tentu ini menjadi catatan tersendiri. Untuk tampil adu kekuatan berpikir, tampil dipanggung dantelevisi melalui talk show agak sulit bagi kandidat untuk merekayasa citra diri mereka.

Jusuf Kalla, sebenarnya tampil begitu menawan dan capresnya Wiranto juga sangat menguasai permasalahan. Sayang, mesin politiknya tidak cukup kuat untuk mengantarkannya menduduki R1 dan R 2. Sementara SBY dan Budiono, tidak terlalu seatraktif Jusuf Kalla dan Wiranto, namun tim suksesnya sangat ahlimembuat jurus-jurus politik dan pencitraan.Disamping itu mesin politik mereka memang sangat kuat.

Rekayasa pencitraan pasti akan dilakukan oleh masing-masing tim sukses calon presiden RI 2014. Mungkin ada baiknya kita harus belajar kepada Obama sang fenomena perpolitikan Amerika.Ditengah keraguan publik. ia tampil dengan bahasa tubuh yang nyaman dipandang, penuh keyakinan. Pilihan kata-katanya cerdas. Ia menampilkan sebagai sosok yang asertif sekaligussantun dan bersahabat. Tim sukses sepertinya sangat berat mengusungnya sebagai presiden, karena ia berkulit hitam dan ada isu seorang muslim (lagi). Namun kemampuan retorika Obama yang luar biasa dan kolaborasi dengan keinginan sebagian rakyat Amerika yakni adanya perubahan.Ia dengan pasti memberika kalimat yang menghipnotis, “Yes, we can “.

Kita belajar pula dari Margaret Thacher pemimpin partai konservatifdi Inggris dahulu yang banyak mendulang suara setelah dipandu tim sukses dengan belajar mengelola bahasa tubuhnya agar enak dilihat. Thacher belajar kembali memperbaiki bahasa non verbalmulai dari cara berjalan, cara duduk hingga pilihan pakaian. Ia juga belajar memperbaiki intonasi suara, untuk membangun citra diri bahwa dia layak berkuasa.

Dan ternyata bagi politikus, mengelola bahasa tubuh dan sekaligus memperbaiki cara ia berkomunikasi sangatlah penting untuk membangun citra diri. Presentasi diri yang lemah, loyo dan ambigu, ekspresi wajah yang suram dan emosional terlalu mudah untuk didegradasikan oleh media. Dan, pekerjaan tim sukses akan jadi sia-sia saja. Ia mungkin akan mendapat suara, namun hanya didapat dari pemilih fanatik buta saja.

Namun sehebat apapun memoles citra diri, aslinya akan ketahuan juga. Artinya para tim sukses jangan sampai melebih-lebihkan karakter maupun prestasi yang sebenarnya tak dimiliki kandidat. apalagi disertai bumbu-bumbu mitos. Sepandai-pandainya tupai melompat, ia akan jatuh juga. Sepandai-pandainya orang memoles citra diri pasti rahasia terbongkar juga. Tetapi apakah kita akan menunggu topeng sang pemimpin terbongkar setelah disumpah menjadi presiden ?

_____

Sumber gambar : primaironline.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline