Lihat ke Halaman Asli

Erna Suminar

Pembelajar, sederhana dan bahagia

Statsion Tugu

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14211549001512458513

[caption id="attachment_390569" align="aligncenter" width="259" caption="sumber gambar : satuluka.blogspot.com"][/caption]

Kereta melaju dari Statsion Tugu. Lelaki  itu duduk di gerbong terakhir. Melepas pandang dan mencoba membenamkan gumuk-gumuk ingatan, di lipatan ruang yang maha dalam. Berharap, suatu hari, kota ini  terlalu  purba  untuk dikenang. Ketika  peluit kepergian ditiup, sudah tak lagi  ada waktu  untuk saling menunggu.

Perempuan-perempuan genit di Pasar Kembang, melepas lirikan, menjilati kesedihan. Semua manusia tahu, persetubuhan dengan dunia, hanya akan mengekalkan duka. Seperti politikus yang melacurkan hati dan pikiran,  tak akan pernah mampu merumahkan bahagia.



Tetapi, aku pernah bahagia di sini…

Ketika ia ingin menabur bunga pada setiap jengkal ingatan yang membuatnya terluka, kenangan mengalir, sederas Selokan Mataram  selepas hujan. Sejatinya, air itu bening. Di Selokan Mataram seluruh menjadi keruh. Inilah mungkin lumpur-lumpur yang terkuak dari pori-pori  bumi. Sepeti rasa sakit yang meluncur dari lipatan hati. Indah, jika air itu mengalir lalu  yang tersisa adalah  hening. Selaksa cinta bersalin rupa  seharusnya menjadi suka cita.

Mengingatmu semestinya indah.  Yang tersisa hanyalah  perih..!  Apakah memang cinta kerap melarut bersama duka? Seperti rindu yang bersekutu dengan kegelisahan, lalu tunai setelah  bertemu?  Jika saja ada amnesia tentang sejarah, yang melarung kemudian hilang dari ingatan,  aku ingin itu, adalah  kamu…!



Seharusnya dan semestinya adalah, serupa rantai  ketidakrelaan untuk melepaskan atas kemelekatan. Saat kereta melaju, di kota ini, yang paling mungkin dilakukan lelaki itu adalah menitipkan masa lalu. Tetapi, perempuan itu terlanjur masuk dalam rangkaian gerbong kehidupannya. Sekalipun ia berusaha tindas semua kenangan. Bayang-bayang  menyelinap tanpa rasa  hormat. Lelaki itu memejamkan mata,  memeramkan kepedihan di rongga dada, lalu   merumuskan perasaan baru.

Suatu waktu, aku harus berhenti mengingatmu. Melupakanmu pasti  butuh waktu. Untuk mengubur seluruh  perasaan, bahwa aku pernah mencintaimu.

(Yogyakarta, 2013)

________________

*) Puisi ini telah dimuat dalam buku    Kumpulan Puisi  : "Kekasih yang Tak Diinginkan" (2014)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline