Lihat ke Halaman Asli

Erna Rosyda

mahasiswi

Konten Seksual, Bentuk Penyalahgunaan Media Sosial

Diperbarui: 21 Juni 2023   16:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Media sosial merupakan produk dari perkembangan teknologi yang kian pesat, media sosial juga merupakan alat komunikasi dan penghubung antara penggunanya. Tidak ada keterbatasan ruang dan waktu, pengguna dalam belahan dunia yang berbeda dapat terhubung dengan mudah dan berkomunikasi satu sama lain. Berbagai kalangan masyarakat dari mulai remaja, dewasa, lansia bahkan anak-anak sudah mahir berseluncur dan eksis di dunia maya. Fakta ini di dukung dengan terus bertambahnya jumlah pengguna media sosial di Indonesia.

 Laporan "We are Social" menunjukkan bahwa pengguna media sosial hingga tahun 2023 mencapai 60,4% dari jumlah masyarakat Indonesia atau sekitar 167 juta orang aktif menggunakan jejaring sosial. Bisa kita simpulkan, lebih dari setengah populasi masyarakat menggunakannya. Harus kita akui, lahirnya media sosial tentunya mempengaruhi tatanan kehidupan dalam bermasyarakat. Banyak bidang yang turut berkembang seiring dengan lahirnya banyak pembaruan aplikasi. Contohnya perkembangan dalam bidang ekonomi, politik, hingga pariwisata melalui aplikasi yang mendukung majunya bidang-bidang tersebut. Masyarakat sudah mulai aware dan menyadari besarnya dampak yang dihasilkan dari media sosial.

Tentunya jejaring sosial menimbulkan banyak dampak, diantaranya dampak positif dan negatif. Jika kita tidak bijak dalam penggunaannya, maka kita akan mudah terpengaruh dampak negatif tersebut. Salah satu dampak negatif dari sosial media adalah konten pornografi. Konten pornografi adalah postingan dalam bentuk apapun yang memuat eksploitasi seksual atau kecabulan yang melanggar norma kesusilaan. Konten ini dapat dengan mudah di akses di internet, bahkan dengan gamblang tersaji di berbagai jejaring sosial atau internet.

Pada survey yang dilakukan Kemenkes pada tahun 2017, tercatat sebanyak 94% siswa pernah mengakses konten pornografi. Sosial media dan internet menyumbang persentase terbesar, dimana konten seksual diakses sebesar 54% oleh para siswa. Dimana sisanya diakses dari media cetak seperti majalah dan komik. Ini merupakan angka yang sangat memprihatinkan bagi Indonesia, karena konten-konten seksual tentunya menyalahi norma dan merusak moralitas generasi muda.

Kemudahan akses konten seksual karena canggihnya teknologi, menjadikan banyak remaja bahkan orang dewasa sekalipun mengalami 'kecanduan'. Efeknya, lama kelamaan orang yang mengalami kecanduan akan menderita kerusakan sel otak. Hal ini diperburuk dengan banyaknya aplikasi-aplikasi baru dan pembaruan fitur 'live' yang disalahgunakan sebagai tempat mencari keuntungan melalui konten seksual. Tidak sedikit juga dari mereka yang memperjualbelikan konten pornografi.

Menurut Ismail, Kepala Pusat Informasi dan Kemkominfo, di temukan banyak sekali akun-akun twitter yang memuat konten pornografi di dalamnya. Pihak Kominfo telah mencoba memblokir akun-akun tersebut, namun masih belum optimal karena konten-konten tersebut dengan cepat menyebar. Selain twitter, aplikasi lain yang terdeteksi konten seksual di dalamnya adalah Bigo live dan Michat. Media sosial, mempercepat tersebarnya konten bermuatan seksual contohnya seperti yang terjadi baru-baru ini dimana video privasi artis-artis banyak tersebar. Sebagai contoh adalah artis inisial RK, LM, GA yang menjadi korban tersebarnya vidio privasi mereka ke sosial media.

Indonesia sendiri sudah memiliki regulasi terkait masalah pornografi, hal ini tertuang dalam UU No.44 Tahun 2008. Di dalamnya terdapat aturan dan larangan untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menyebarkan, memperjualbelikan dan menawarkan hal berbau seksual. Hukuman bagi mereka yang melanggar yakni penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau denda minimal 250 juta dan maksimal 6 milyar.

Konten pornografi merupakan musuh bagi kita semua, terlebih mereka yang tidak memiliki cukup kesadaran untuk menyaring informasi, mana yang pantas dan tidak pantas untuk dikonsumsi. Seperti yang sudah disebutkan, pengguna sosial media berasal dari berbagai kalangan. Tentunya, akan sangat berbahaya jika konten-konten seksual dengan mudah di akses dan menyebar. Anak-anak yang belum mampu memfilter apa saja yang ingin mereka tonton, seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya.

Ada baiknya bagi para orangtua untuk lebih memperhatikan anak-anaknya, melakukan bounding dan memberikan pengawasan serta edukasi seksual kepada anak-anak dibawah umur. Hal ini sangat diperlukan untuk mengontrol konten apa saja yang layak mereka konsumsi. Selain itu pihak pengembang aplikasi dan juga pemerintah harus bekerja sama dalam menangani kasus ini secara serius. Melakukan berbagai pengaturan dan membatasi akses pengguna sosial media yang belum cukup dewasa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline