Lihat ke Halaman Asli

Erna Manurung

Sedang bermukim di kampung halaman (Serang, Banten)

[Cerita-Panjang] Kala Usia Senja Tiba #6

Diperbarui: 17 Juni 2021   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

id.depositphotos.com

Sabtu pagi. Hari ini seharusnya Lestari berada di luar panti. Kalau tidak jalan-jalan di pantai, ia akan menginap satu atau dua malam di Kaliurang. Tetapi akhir pekan kali ini ia agak malas bepergian. Ia mau menguji ketahanannya tinggal di dalam rumah selama dua minggu penuh tanpa acara jalan-jalan. Apakah sanggup atau tidak. 

 Namundemikian, Lestari beruntung memiliki pimpinan yang peduli dengan vitalitas para staf yang mengurus lansia. Lima hari dalam seminggu, mereka diwajibkan bekerja sementara dua hari dibebastugaskan. Terserah mau melakukan aktivitas apa, kantor menyiapkan dananya. Tentu saja dengan plafon. Baginya, bisa bekerja di panti lansia yang dikelola secara profesional adalah kesempatan berharga.

 
Tapi ia merasa sedikit terganggu setelah mendengar cerita Sarweni kemarin. Di luar sana, masih banyak lansia yang kurang perawatan karena minimnya fasilitasnya. Lestari memperkirakan, setelah Sarweni pulang ke kampung halaman, ia harus melewati masa adaptasi yang tidak mudah. Dari bekerja di panti lansia untuk kalangan mampu ke panti wreda milik pemerintah.
 
Di kamarnya Lestari berjuang mengatasi kegelisahannya. Gelisah karena ibu Yani belum memberikan kepercayaan kepadanya. Gelisah karena banyak penghuni panti yang berkecukupan secara materi namun tidak bahagia. Gelisah karena tidak semua orangtua seberuntung keluarganya; melewati masa tua dengan lancar, tidak perlu ke panti jompo. Mereka tinggal di rumah dan punya banyak teman.

Lestari juga gelisah karena hampir semua orangtua yang ia temui ingin anak-anaknya menikah dan membentuk keluarga. Lalu beranakcucu untuk memperbanyak keturunan. Belum pernah ia bertemu dengan orang-orang yang membebaskan ana-anaknya mengambil pilihan sendiri. Membentuk ‘keluarga’ sendiri, dengan versi dan standar kebahagiaan mereka sendiri.

 Ia juga gelisah karena ternyata pusat kebahagiaan seseorang tidak melulu dari materi yang dipunyainya. Tante Linda itu kurang apa, coba? Anaknya sudah mandiri, harta lebih dari cukup karena bisnisnya tetap berjalan dan kini dikelola anak sulungnya.
 
“Yang dibutuhkan Tante Lindamu itu adalah seorang suami, kata hati kecilnya.
 
“Benar, tapi kalau tidak punya suami, bukankah masih ada sahabat dan teman-teman?” kilah suara hatinya yang lain.
 
“Tidak sesederhana itu. Ia hidup bukan di lingkar pertemanan yang kuat seperti kamu,” bantah hati yang satu lagi.
 
***
 
Dua hari yang lalu, seorang perempuan seusia Tante Linda datang. Ia menginap di Pondok Usia Indah. Namanya Ibu Sylvana. Astry tidak bilang kalau ibu Syl penghuni baru. Gadis itu hanya menyampaikan sekilas kalau beliau adalah tamunya Ibu Linda, yang minta izin menginap di sini beberapa hari saja.
 
Ibu Yani memberikan beberapa dispensasi. Siapa saja yang terkait dengan penghuni boleh datang dan menginap, tentu dengan beberapa peraturan dan batasan. Soal biaya, ada hitung-hitungannya. Pingkan, putri Pak Wayong pernah menginap satu mingu di sini. Beberapa anggota keluarga yang lain juga pernah mengajak keluarganya menginap. Para staf akan membantu mengatur kamar, asalkan ada pemberitahuan sebelumnya.
 
O ya, sejak kedatangan ibu Sylvana, Tante Linda agak suli ditemui. Mereka berdua banyak mengobrol di kamar atau berjalan-jalan di hutan mini. Sekali waktu duduk berjam-jam di ruang makan di sudut utara. Apa saja yang diperbincangkan mereka berdua ya?  
 
Lestari ingin sekali merajuk karena merasa tidak diperhatikan. Tapi ia bukan teman mereka yang bebas bersikap semaunya. Ia staf yang harus bekerja profesional. Akhirnya Lestari berharap agar besok atau lusa Tante Linda akan memperkenalkan Ibu Syl kepada penghuni di sini. Meski ibu Yani melarang keras para Staf mencampuri urusan pribadi penghuni.
 
****
 
Minggu siang. Pulang dari gereja, Lestari  mampir ke kamar Astry. Gadis itu sedang leyeh-leyeh. Minggu ini ia piket, jadi tak bisa keluar asrama.
 
“As, kamu tahu nggak kenapa Ibu Linda diterima di sini? Padahal ]kan dia belum lansia?” Lestari nyelonong ke kamar Astry yang pintunya sedikit terbuka. Ia melanggar kesepakatan ‘bahwa masuk kamar siapapun harus mengetuk pintu’. Untung Astry tidak protes. Ah, tapi ia bisa protes kok dengan bilang, ‘hei, aku tak mau diganggu’. Yang dibalas Lestari dengan ‘jadi, kapan dirimu bisa kuganggu?’.
 
“Lho, memangnya bu Yani tidak memberitahu kamu selama in?”
 
Lestari menggeleng.
 
“Memang sih ini wewenangnya HRD. Tapi menurutku semua staf perlu tahu riwayat semua penghuni di sini. Setidaknya hal-hal yang umum.”
 
“Mungkin bu Yani lupa.”
 
“Bisa juga. Okelah, tapi kamu perlu tahu juga. Empat tahun lalu, Ibu Linda datang diantar anaknya ke sini. Ia memperkenalkan diri sebagai mantan mahasiswa praktek yang dulu PKL di panti ini sebelum berganti nama Pondok Usia Indah. Ibu Linda minta izin, apakah dia bisa tinggal di Pondok Usia Indah untuk beberapa bulan saja. Ia tahu bahwa usianya belum memenuhi syarat untuk menjadi penghuni. Tapi entah apa yang dibicarakan mereka, akhirnya Ibu Linda tinggal di sini. Kepada para staf, Ibu Yani memberi tahu bahwa ibu Linda akan tinggal beberapa bulan saja.
 
“Tetapi akhinya Ibu Linda tinggal sampai empat tahun. Anak-anaknya jarang menjenguk dia. Dari cerita mereka, kami tahu kalau Ibu Linda sudah bercerai dari suaminya. Dia sangat tertutup. Setahuku, cuma kepada ibu Yani dia mau terbuka. Orang kedua yang berhasil mendekati dia adalah kamu.”
 
Lestari tergelak. Baginya, memulai pertemanan dengan siapa saja tidaklah sulit. Yang berat adalah mengelolanya. Dari Astry ia juga tahu kalau tamunya Tante Linda itu sahabatnya semasa kuliah.  Keduanya sama-sama pernah praktek di Pondok Usia Indah yang waktu itu belum sebesar sekarang. Ibu Sylvana mengunjungi kota ini setelah mendapat kabar kalau sahabatnya sudah 4 tahun tinggal di sini.
 
“Waktu Ibu Sylvana datang, mereka berdua bertangisan. Kami agak canggung melihatnya,” Astry melanjutkan ceritanya. Lestari sedikit menyesal mengapa ia tidak ada di sana waktu itu. Ibu Syl datang sore hari ketika ia sedang berbelanja kebutuhan bulanan di minimarket dekat asrama.
 
***
 
“Kenapa Baskoro pergi, Syl?” Linda bertanya lirih.
 
“Entahlah, aku tak mau menyalahkan perempuan itu. Anggap saja memang jodoh kami sudah selesai.”
 
“Ehm, bukannya kita dilarang bercerai ya?”
 
“Memang, tapi kalau suami kita yang ingin pergi, lalu kita mau apa?”
 
Linda tahu bahwa Sylvana berusaha optimis dengan perkataannya barusan. Berusaha tidak marah lagi seperti semalam. Tadi malam, sahabat karibnya tak bisa menutupi lukanya ketika bercerita tentang Baskoro yang pergi begitu saja. 

 Tentang Citra, yang berhasil memikat suaminya dengan segudang akses untuk kelanggenggan karir ayah dari keempat anaknya. Tentang kepiluan karena ia merasa, Baskoro sudah tidak membutuhkannya lagi. Tentang penyesalan karena di masa lalu mereka tak pernah membicarakan keadaan yang mungkin tak lagi sama. 

Tentang kebingungan yang akan mereka temui kelak. Dan tentang, mengapa dulu mereka sanggup mengucapkan ‘sampai maut memisahkan kita’ namun tak sanggup mempertahankannya.

 
“Apakah kita orang-orang yang kalah, Linda? Menurutmu bagaimana?”
 
“Ah, entahlah.”
 
“Lalu, kenapa kamu ke sini?”
 
“Hhhh... Aku ke sini untuk mencari tahu kenapa kami melewatkan begitu banyak waktu yang berharga untuk membenahi hubungan kami.”
 
“Kamu masih menyesali itu ya?”
 
“Sedikit. Tapi tetap merasa lebih beruntung dari banyak orang di tempat ini. Setidaknya, anak-anakku masih memberikan perhatian. Aku tidak bisa menuntut banyak dari mereka. Mereka sudah punya kehidupan sendiri dan tanggung jawab masing-masing. Membentuk keluarga dan membesarkan anak-anaknya. Aku jadi egois kalau hanya memikirkan diriku sendiri. Di sini Syl, kamu tahu? Yang lebih menderita dari kita cukup banyak meskipun mereka punya segalanya. Aku diberitahu Lestari, minggu lalu ada salah satu penghuni yang kedapatan menelan obat tidur over dosis. Untung ibu Yani segera bertindak.”
 
“O, begitu?”
 
“Ya. Aku pikir, cukuplah kebaikan Tuhan buatku. Aku masih punya keluarga dan pekerjaan yang bisa menghidupiku. Satu-satunya kesusahanku hanya pengapuran di kaki. Tapi itu jadi terasa ringan sekarang.”
 
Sylvana memeluk sahabatnya. Betul juga yang dikatakan Linda. Mungkin mereka terlalu asyik dengan kemapanan hidup selama ini. Ia boleh kehilangan Barkoro, anak-anak akan pergi, usia akan bertambah, dan tubuh akan akan semakin rapuh. Tapi ia masih memiliki sahabat dan teman-teman baik. Tuhan memberinya pelajaran penting beberapa hari di tempat ini. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline