Lihat ke Halaman Asli

Menanggulangi Ancaman Pendidikan dengan Mitra Cerdas-nya AJB Bumiputera 1912

Diperbarui: 14 Agustus 2016   09:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ana Mustamin dan Kang Isjed - Kompasiana nangkring bersama AJB Bumiputera 1912. (dok.pri)


Tulisan ini akan saya mulai dengan kisah seorang ayah yang memilik enam anak. Salah satu anaknya, yang nomor 4, telah meninggal dunia pada tahun 2008. Istrinya telah meninggal, 18 tahun yang lalu. Yang dirasakan oleh seorang anaknya, ketidakhadiran seorang ibu juga memiliki dampak yang sangat besar. Tidak keliru jika dikatakan bahwa siapa yang harus diberi asuransi terlebih dahulu dalam keluarga, adalah ayah. Betul. Namun, setelah ayah sebagai pencari nafkah, ibu harus diasuransikan pada posisi kedua. Dua anak nomor 1 dan 2 masing-masing pernah melanjutkan sekolah di Makassar namun berhenti di pertengahan tahun karena sesuatu hal. Sementara anak kedua, sempat melanjutkan kuliahnya di salah satu sekolah tinggi di Watampone, namun berhenti pada semester 2.

Anak nomor 3-nya meninggal dunia ketika semester 7 karena tumor yang telah membunuh janinnya terlebih dahulu. Sekarang, yang bisa membuat ayah ini bahagia dan bersyukur karena anak keempatnya telah menyelesaikan pendidikan strata satunya dan sekarang melanjutkan studi S2 nya di Yogyakarta, meski dengan biaya sendiri. Saat itu, anak ini mengajukan beasiswa namun tidak lolos. Sialnya lagi pengumuman anak ini bahwa anak ini diterima di salah satu universitas yang dipilihnya, lebih dahulu datang ketimbang pengumuman bahwa dirinya tidak lolos beasiswa. Itulah mengapa, biaya mandiri menjadi andalannya dan orang tuanya. Sama halnya dengan anak keempat, anak kelima, dan anak keenam, juga tanpa beasiswa melanjutkan strata S1 nya di Watampone.

Memang jika keluarga ini diperhatikan, bisa dikatakan serba berkecukupan apalagi dalam biaya pendidikan. Namun, Sebenarnya tidaklah seperti itu. Biaya pendidikan mandiri berefek pada semua. Terutama bagi anak keempat yang sekarang menempuh pendidikan S2 di Pulau Jawa ini. Tingginya pembayaran SPP, belum lagi biaya hidup yang meliputi biaya makan, biaya indekos, biaya buku, dan biaya lainnya membuat anak ini harus bekerja paruh waktu dengan berjualan buku dan bekerja di kampus. Meski begitu, ternyata pada semester 4 dan 5-nya gaji yang diperolehnya belum bisa menutupi biaya SPP. Gajinya hanya cukup untuk memenuhi biaya harian dan bulanan serta sesekali mengirim uang belanja untuk tantenya, yang kini menjadi ibu tirinya di rumah, sejak kelas 4 SD.

Asuransi Bukan “Hantu”

Seperti orang tua sebagian besar, ketidaktahuan ayah ini dengan pentingnya asuransi membuat tabungannya harus menjadi andalan simpanan untuk pendidikan anak. Memang betul. Tetapi ketika ada keperluan di luar pendidikan yang mendesak, tabungan itu akan digunakan, mengingat mudahnya uang dikeluarkan dari tabungan dan setelah bekerja dan memperoleh uang akan diganti selama masih menabung. Dan perlu diingat bahwa, tabungan ayahnya sifatnya tidak bulanan, bisa saja dalam satu bulan kita lupa untuk menabung bahkan menggunakan tabungan itu untuk keperluan lain. Lebih parahnya lagi jika penghasilan orang tua tidak menentu setiap bulannya.

Asuransi bukanlah hantu. Asuransi layaknya sebuah peringatan tentang hari esok. Maka untuk menyongsong hari esok, diperlukan perencanaan. Perencanaan yang paling penting dan sifatnya kursial adalah perencanaan pendidikan anak (sejak dini bahkan sebelum lahir).

Anggapan sebagian besar orang bahwa bagi anak yang masih batita dan balita belumlah pantas dipikirkan tentang rencana pendidikannya kelak. Beberapa resiko kurang diperhatikan jika sudah berpikiran seperti ini. Seperti kata Ana Mustamin, “resiko hidup itu hanya dua, yakni hidup terlalu singkat dan hidup terlalu lama.” Jangankan sakit, dalam keadaan sehat bugar pun juga menjadi resiko. Kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi semenit kemudian dalam hidup. Maka untuk anak, bukanlah suatu keraguan besar untuk direncanakan pendidikannya.

Ancaman Pendidikan Anak

            Seperti apa bentuk-bentuk ancaman pendidikan anak yang bisa saja terjadi kapanpun dan dimanapun kita berada?

  • Orang tua kecelakaan atau meninggal dunia. Ini resiko paling wahid, alasan mengapa asuransi menjadi pilihan penting bagi mereka yang selalu memikirkan kematian. Dan menjadi kurang penting bagi mereka yang merasa akan selamanya hidup di dunia.
  • Pembayaran sekolah atau perguruan tinggi tiap tahun meningkat. Kita bisa melihat, memang ada jutaan anak yang bisa bersekolah di sekolah dasar, namun ada berapa persen saja yang melanjutkan studinya di perguruan tinggi?
  • Daya saing sumber daya manusia semakin meningkat, anak sebagai generasi pesaing tanpa dipersiapkan akan ketinggalan kereta.
  • Teknologi semakin canggih, daya beli anak untuk kebutuhan pendidikan juga semakin meningkat. Apalagi sekarang kemudahan membeli buku sebab sudah tersedia online shop.Cukup meng-klik dan membayar via transfer, buku sudah dikirimkan ke alamat pembeli.
  • Bencana alam yang bisa saja meluluhlantahkan harta benda milik keluarga.

Mengapa Harus Merencanakan Pendidikan Anak?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline