Lihat ke Halaman Asli

Jika Merinduku, Maka Menulislah!

Diperbarui: 13 Desember 2015   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski telah lama, kalimat yang pernah kau tuliskan untuk kekasih lamamu, bahwa “pertemuan tidak selamanya menjadi obat rindu”. Bagaimana aku bisa menafikkan kalimatmu itu yang kini menjadi panduku, menjadi peganganku. Berkasih denganmu tanpa pertemuan di awal. Hanya lewat tulisan kita saling mengenal. Saling menyukai. Saling mendedah rasa. Saling menyanyangi. Dan saling merindu. Katamu, “Sayangku, jika merinduku, maka menulislah”. Sayangku, bukan hanya menulis yang selalu kulakukan, lebih dari itu, aku menangisimu di malamku ketika rindu ini menuntut pertemuan. Beberapa halaman pada buku demokrasiku kubijakkan menjadi palu piluku. Agar menenangkan meski tidak menyenangkan. Agar menyegarkan meski tidak menegarkan.

Kau tahu?

Kau terasa sangat dekat saat awan gelap mengiringi jalan pulangku. Kapan saja meruntuhkan hujannya kapan saja dia mau. Membasahi sepatu yang tetap nyaman kupakai meski basah. Membasahi buku demokrasiku. Membasahi pipiku yang selalu ingin kau kecup. Sayangku, awan gelap sangat indah dari sini. Sangat gagah menampakkan wajahnya. Hanya saja, handphoneku selalu kehabisan daya ketika ingin memotretnya untukmu. Awan gelap, meski engkau tidak menatapnya karena jarak. Kuharap engkaulah awan gelap itu. Terasa sangat dekat ketika saya berjalan kaki. Ambillah air mataku ini, jadikan hujanmu. Maka saat pertemuan pertama, aku sudah kehabisan air mata. Hingga hanya senyum merekah yang bisa kutampakkan untukmu, kekasihku.

Kau mau tahu lagi?

Kau terasa ada di sampingku, turut membaca dan menjailiku atas kecintaanku dengan demokrasi, dengan buku-buku demokrasi. Mungkin kau akan cemburu berat karena harus kuakui demokrasi terlebih dahulu kukenali sebelum engkau. Tetapi sayangku, kuakui, engkau pulalah kecintaanku pada demokrasi semakin bertambah. Kau pantas cemburu akan hal itu. Dan kuyakin engkau tidak akan meninggalkanku karena itu. Sebab, engkau sangat menyukai wanita yang rajin belajar, dan enak diajak berdiskusi.

Dua jam berbicara via telefon, terkadang habis tidak percuma untuk berdebat. Tentang pasal-pasal dalam keilmuanmu, dan tentang demokrasi dalam keilmuanku. Tidak jarang aku kesal dan ingin rasanya menutup telefon ketika dirimu tidak memilih mengalah. Sesekali engkau menggombalku tapi sesekali juga aku membentengi diri untuk tidak termakan gombalanmu dan tetap melanjutkan perdebatan sengit. Hingga di akhir pembicaraan engkau menutupnya dengan berkata, “Sayangku, rinduka (Sayangku, aku rindu)”. Kita pun melupakan dua jam ‘mencekam’ itu. Maka saat pertemuan pertama, tidak akan ada lagi perdebatan sengit. Yang ada hanya kekaguman melihat tumpukan buku-buku ilmu hukummu atau tumpukan buku-buku demokrasiku.

Kau tidak mau berhenti tahu kan?

Kau terasa mendekapku sesaat sebelum aku menulis ini. Ada nyanyian terdengar samar. Tapi kutahu itu dirimu sedang berbisik mesra dalam dekapanmu. Sayangku, kau membuat diriku tersenyum tersipu. Hanya bisa membalas dekapanmu, dengan melingkarkan tangan dibahumu. Hingga aku terbangun aku sadar pagi ini engkau berangkat ke kampung halamanmu, di Sinjai, di desa Talle. Lama telah kau kabarkan, jika berada di sana komunikasi kita sedikit terhambat karena sulitnya jaringan dan pekerjaanmu di kebun juga menyita waktu pagi, siang, dan soremu.

Dan tentu, malamnya engkau harus bercengkrama dengan keluargamu, dengan emmakmu (Ibumu) yang telah lama merindumu dan memintamu untuk pulang jika sudah libur dari rutinitas perkuliahan. Sungguhpun, engkau sangat takut kalau aku marah, jika telfonku tidak diangkat, smsku tidak dibalas, dan BBMku tidak diread. Bahwa engkau sangat sibuk dengan pekerjaanmu di kebun. Sayangku, kapan-kapan ajaklah diriku berkebun.

Semoga desamu di Sinjai menjadi pengobat kerinduanku dengan udara pedesaan, jauh dari gedung-gedung, jauh dari keramaian kendaraan, jauh dari padatnya penduduk kota, dan jauh dari pusat belanja. Kuharap, engkaulah orang yang akan mewujudkan itu, berkebun bersamamu, mengajariku cara menanam, cara memelihara, dan cara memetik tanaman-tanaman kita nantinya sayangku. Maka pada pertemuan pertama kita, kita tidak membicarakan ini lagi. Sebab sudah ada dalam catatan impian kita berdua.

Memiliki rumah sendiri di desa yang bisa kami tinggali di akhir pekan. Memiliki kebun yang ditumbuhi sayur-sayuran dan buah-buahan, memiliki rak buku di empat sisi ruangan, memiliki meja untuk belajar dan menulis di belakang rumah kita yang teduh. Sayangku, aku akan membuatkanmu kopi kesukaanmu saat engkau membaca dan saat engkau menulis. Tapi, saat pertemuan pertama kita, aku akan bertanya padamu, berapa sendok gula untuk kopimu, kekasihku? Agar aku menjadi wanita yang paling tahu selera kopimu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline