Lihat ke Halaman Asli

Waktu

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu

Erna Erpiana

Aku terus berlari dan berlari, aku sangat berharap hari ini adalah hari keberuntunganku. Aku berharap masih memiliki kesempatan untuk dapat melihat ayah dan ibuku tersenyum, setidaknya sekejap saja. Aku terus berlari tanpa memperhatikan setiap mata memandang aneh padaku.

“Pak, apa bu Merlin ada diruangannya?”, tanyaku terenggah-enggah pada pak Heru staff Tata Usaha prodi.

“oh, ada”, jawab Pak Heru tanpa meliriku sedikitpun.

Aku cepat-cepat berlari keruang Bu Merlin, berharap ada satu keajaiban bagiku. Beruntung beliau ada, Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam padanya.

“masuk”, Bu Merlin meliriku, “masih berani rupanya kamu datang”, Bu Merlin menyecarku tanpa memberiku kesempatan menjelaskan.

“Bu, saya datang kemari untuk..”

“untuk lulus kuliah secepatnya?” potong Bu Merlin menatapku tajam.

“saya, mohon kemurahan hati Ibu”, aku memohon, berharap Bu Merlin sudi membantuku.

“Rian, saya sudah sangat pengertian. Apa yang bisa saya lakukan jika setiap bimbingan kamu tidak pernah datang. Dan sekarang kamu ingin lulus bersama dengan teman-temanmu yang rajin bimbingan dan sudah hampir selesai, sedangkan kamu?”, Bu Merlin menarik nafas, seolah kehabisan kata menghadapi mahasiswanya yang sangat sulit diurus sepertiku.

“Tapi, bu..”, aku tetap mencoba memohon padanya, dibalik sorot matanya yang tajam, aku tahu bu Merlin sangat peduli pada seluruh mahasiswa bimbingannya.

“Tapi, Kali ini tidak Rian, cobalah tahun depan”, Bu Merlin berdiri dan merapihkan tasnya,”sudah sore, saya harus pulang”. Langkahnya terhenti, “Apa yang kamu tanam, itulah yang kamu petik Rian, tidak ada yang bisa membantu selain dirimu sendiri”.

***

Semua mahasiswa di Auditorium kampus siang ini begitu riuh membahana, dengan sorak suka cita kawan-kawan seangkatanku yang lulus studinya. Para orangtua berdatangan dengan wajah berseri-seri berfoto bersama anaknya yang gagah dan anggun mengenakan toga, jubah longgar perlambang kebesaranyang dikenakan oleh mahasiswa yang telah berhasil, mahasiswa yang menang.

Hatiku pilu melihat pemandangan ini, betapa ada sebuah rasa sesak didada yang sangat membuatku serasa tak kuat berpijak dibumi ini. Dari jarak jauh, aku dapat melihat kawan-kawanku, Yogi teman satu kost ku, senyumnya mengembang merangkul kedua orangtuanya.

Aku tidak sanggup menerima kenyataan dan kesalahan yang telah aku perbuat. Bahkan untuk membalas surat ibu dari kampung beberapa waktu yang lalu aku benar-benar tidak sanggup.

Assalamualaikum, semoga ananda sehat diperantauan.

Maaf sudah lama Ibu dan Ayah tidak mengirimi ananda surat. Bahkan, untuk dua bulan belakangan ibu tidak mengirimi ananda uang saku. Bukan Ibu tidak ingat, tapi ayah sedang butuh biaya pengobatan, ayahmu sakit keras nak. Surat ini juga ibu minta dituliskan pada Mila, tetangga kita anak Pak Lurah. Ananda kan tahu Ibu buta huruf. Ayah hanya berpesan, Kapan ananda wisuda, ayah selalu menghitung, ayah bilang tahun ini ananda lulus. Syukur Alhamdulillah. Ayah ingin ke Jakarta, beliau terus melawan penyakitnya demi menyaksikan ananda diwisuda, pakai toga katanya.

Sekian dulu ya, jangan lupa berdoa pada Allah agar dipermudah lulusnya.

Kini, apa yang akan aku katakan pada Ibu, seandainya beliau tahu aku belum satu bab pun menulis skripsi. Lantas, bagaimana perasaan ayah andai tahu aku gagal, aku pecundang.

Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih lagi, semua rasanya sudah terlambat. Teman-teman yang suka mengajaku party kini sudah beberapa minggu tak ada kabar. Pekerjaanku sebagai kurir narkoba yang penghasilannya sangat besar, kini tak pernah aku dikontak lagi oleh bos. Dan perempuan-perempuan yang selalu menemani saat aku banyak uang, tidak aku jumpai seorangpun ditempat mereka masing-masing. Semua seolah pergi meninggalkanku, disaat aku hancur, disaat aku benar-benar terperosok dalam lubang yang dalam.

Hari ini, sewa kamar kost ku habis. Bu Ely sudah menggedor-gedor pintu kamarku setiap pagi. Sudah jatuh tempo seminggu aku belum juga mampu melunasi, bahkan untuk makan aku harus tunggu sampai uang ngamen bisa cukup untuk sebungkus nasi dan tempe atau tahu, kadang tidak sama sekali.

Aku benar-benar sudah tak punya harapan hidup di Jakarta. Aku harus memilih, pulang sebagai pecundang, melihat wajah renta ayah yang sudah empat tahun yang lalu tak pernah bertemu, atau merantau dan meninggalkan Jakarta. Kawanku Langgan dari Sumatra menawari untuk bekerja di daerahnya. Ia memang akan kembali ke Sumatra setelah lulus kuliah. Langgan kawan seangkatanku, ia kini telah lulus menikmati manisnya kesuksesan. Nampaknya ia prihatin dengan kondisiku, dan menawarkan pekerjaan dipeternakan milik pamannya. Peternakan, mungkin itulah hasil yang harus aku petik dari buah perbuatanku selama di Jakarta, aku tidak memanfaatkan amanah orangtua untuk belajar, aku terlena dengan gemerlap yang dijanjikan Kota Metropolitan ini.

***

Setahun sudah aku tinggal mengurusi peternakan yang sehari-harinya yang kulihat hanya kerbau, rumput, kandang, dan kotoran. Mengenaskan. Tiba-tiba aku teringat Ayah dan Ibu, ya Allah, bagaimana keadaan mereka sekarang. Bahkan saking pecundangnya, aku tidak berani mengirim surat pada mereka dan mengabarkan kondisiku. Aku tidak tahu, apakah ayah sudah sehat atau tidak. Aku tidak bisa bayangkan persaan mereka saat menanti undangan acara wisuda yang tak kunjung datang. Hatiku pilu, aku sangat merindukan mereka.

Selat sunda yang nampak tenang, tidak setenang hatiku yang akan menghadap orangtuaku. Aku putuskan pulang apapun yang terjadi, aku tidak bisa hidup terus dalam pelarian rasa bersalah terhadap orangtuaku. Terlebih aku sangat merindukan mereka. Beberapa jam lagi, kapal ini akan merapat ke pelabuhan tanjung priuk. Aku akan mendaratkan kembali kakiku di ibu kota, dan melanjutkan perjalananku ke kampung halaman.

Hatiku terasa tak menentu, aku melangkah perlahan mendekati rumah tua yang halamannya masih nampak sama seperti lima tahun yang lalu, hanya cat dan kayunya yang tampak labih kusam. Dari jauh aku dapat melihat seorang gadis sedang menyapu halaman, itu Rina, adiku. Ya Allah, Rina kini sudah tampak lebih besar sejak pertama aku meninggalkannya. Aku menangis pilu, kakiku terasa beku. Berat sekali untuk melangkah mendekati rumah penuh sejarah ini. Aku hampir tak punya nyali untuk mendekat.

“Rian”, suara serak dan parau terdengar dari belakang punggungku. Aku menoleh, aku hampir tidak bisa mengenali. Wanita tua yang sangat lusuh penuh lumpur dan kotor.

“Ibu..”, aku bergetar, sungguh aku tidak salah lihat. Sungguh ia adalah ibuku. Aku memeluknya dan hampir tersungkur dikakinya, aku terisak hampir tak bersuara. Terasa sungguh sakit. Lama kami hanyut dalam keharuan.

“kemana saja kamu nak, kenapa tidak pernah ada kabar? Kenapa baru pulang?”, ibu terisak, suaranya terasa begitu berat.

“Ayah mana bu? Ayah sehat?”, aku belum bisa bercerita banyak. Yang ingin aku tahu sekarang adalah kondisi ayah yang setahun lalu dikabarkan sakit keras. Ibu menarik nafas dalam, dan mulai bercerita.

“saat ibu mengirim surat padamu, mengabarkan ayah sakit. Saat itu juga ayah berusaha keras untuk sembuh, ingin menyaksikan bujangnya diwisuda di Jakarta. Lama ananda tidak memberi kabar, akhirnya ayah sembuh dengan tekadnya menyusul ananda ke kota. Saat sampai di Jakarta, betapa hancur hati Ayah, tidak mendapati Rian sebagai wisudawan tahun itu, dicari ke tempat kost juga ananda tidak ada..kata ibu dosen ananda jarang masuk kuliah”, ibu terisak sampai nafasnya terasa sesak. Namun ibu kembali malanjutkan ceritanya.

“sejak saat itu, ayah pulang dari Jakarta dan tidak pernah mendapat kabar darimu, sakitnya pun kambuh lagi. Bahkan lebih parah, pikirannya terganggu, ia terkena saraf hingga mengalami struk”, ibu kembali terisak lebih dalam dan lebih lama, hatiku tidak enak.

“terus ayah dimana sekarang bu?”, aku menanti apa yang akan ibu katakan.

“ayah sudah meninggal..”, tangis ibu pecah, tanpa suara.

Aku merasa dunia, seluruh isi langit dan bumi menatapku tajam dan meneriaki aku sebagai pecundang. Pengorbanan Ayah yang begitu membanggakan aku yang bisa melanjutkan pendidikan tertinggi, kini harus dibayar dengan rasa sakit yang menggerogoti ayah hingga menemui ajalnya. Beberapa petak sawah yang dimiliki ayah, telah seluruhnya terjual untuk membiayaiku selama aku kuliah di Jakarta. Rina, gadis pintar dan cantik, adiku satu-satunya. Putus sekolah karena kekurangan biaya saat ayah sakit keras dan tak mampu lagi mencukupi ekonomi keluarga.

Ibu, kondisinya saat lima tahun yang lalu ketika aku pergi merantau untuk Kuliah di Jakarta, belum setua sekarang. Tapi, kini ia lebih hitam legam, wajahnya semakin kusam dan keriput, Ibuku, yang bau lumpur. Ternyata, harus menjadi buruh tani disawah untuk menyambung hidup, dan membiayai pengobatan ayah, selama ayah sakit keras. Dan kini, aku benar-benar resmi sebagai pecundang.Aku yang selalu dibanggakan ayah karena prestasiku di sekolah, kini tak ada artinya. Karena ternyata, Jakarta tempat aku melanjutkan pendidikan tinggi, membawa malapetaka akibat kelakuanku. Satu hal yang aku tahu, aku mungkin bisa mengembalikan beberapa petak sawah yang terjual demi biaya kuliahku yang gagal. Tapi, satu yang tidak bisa aku kembalikan dan kucari keujung dunia manapun, yaitu waktu.

Bandung, 10 Maret 2012

Pukul 21:55 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline