Permisi, Om Indro, untuk memakai slogannya Warkop DKI sebagai judul tulisan saya. Baru tahu dari laman Tribunnews bahwa ternyata slogan ini lahir dari keprihatinan Warkop DKI di pertengahan tahun 70-an akibat susahnya mencari audiens yang mau tertawa lepas mendengar humor-humor Warkop DKI yang mengandung kritik sosial.
Saya adalah salah satu swing voters yang masih galau menentukan pilihan. Dalam tulisan saya yang lain di Kompasiana, saya lebih banyak berfokus mengkritisi budaya politik kedua paslon secara adil dan berimbang. Dalam percakapan sehari-hari saya selalu berusaha mengingatkan para Jokowers bahwa Jokowi bukanlah manusia 'tanpa dosa' dan Sandiaga tampil simpatik.
Mungkin banyak yang seperti saya hari-hari ini sudah lelah dan bosan dengan politik yang membelah negeri ini dan memisahkan kami dari sanak dan kawan. Kami cenderung cuek. Tapi maafkan kalau hari ini saya 'terpaksa' memutuskan setelah merasa ill-feel dan diganggu mimpi buruk sehingga terbangun jam 12 malam setelah ketiduran di segmen terakhir debat capres semalam.
Alasannya sederhana dan gampang ditebak. bukan gara-gara mendengar paparan visi misi paslon tapi karena kaget mendengar hardikan salah satu capres.
Tawa adalah satu-satunya yang aku miliki dengan satu-satunya sahabat yang tersisa di kantor yang penuh dengan politik kantor. Tawa adalah satu-satunya yang anak-anakku miliki di penghujung sebuah hari yang dipenuhi hardikan dari guru mereka. Tawa melepaskan begitu banyak endhorphin, hormon yang memberikan perasaan bahagia dan menyegarkan tubuh yang mulai renta ini.
Tawa itu begitu mahal karena aku pernah kehilangannya selama dua tahun sepeninggal papa yang kena serangan jantung. Tertawa bisa jadi akan lebih mahal lagi kalau dia jadi presiden. Saya tidak tahu apakah para pelawak, komedian, dan artis seni melucu akan tersinggung dengan hardikan beliau atau tidak. Tidakkah seharusnya mereka merasa terancam?
Laughter is the best medicine, kata orang. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tawa menurunkan tekanan darah dan meningkatkan imunitas tubuh. Menertawakan diri sendiri adalah tanda jiwa yang sehat. Mungkin itulah sebabnya mengapa Kompas TV begitu serius untuk urusan tawa; sebuah media serius begitu mempromosikan kompetisi stand-up comedy. Hati yang gembira adalah obat, begitu tulis kitab suci ribuan tahun yang lalu.
Akhirnya saya teringat pada Bapak Protestanisme, Martin Luther yang pernah berkata, "The best way to drive out the devil, if he will not yield to texts of Scripture, is to jeer and flout him, for he cannot bear scorn." Setan tidak suka ditertawakan. Kalimat ini dikutip oleh C.S.Lewis dalam buku yang sangat sukses meledek setan "The Screwtape Letter" yang menceritakan tentang bagaimana seorang setan senior menasehati setan kecil mengenai cara terbaik menarik manusia ke pihak mereka. Jika tawa bisa memelihara akal, tubuh dan jiwa kita tetap sehat, bahkan mendekatkan diri pada Tuhan, mengapa tawa harus dilarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H