Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Perbedaan antara Diskursus Ilmiah dan Diskursus Filosofis

Diperbarui: 9 Oktober 2024   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ermasnyah R. Hindi - Dokpri

Di kepala saya cukup sulit untuk mengelak dari diskursus. Saya tentu tidak perlu mendefinisikan apa itu diskursus. Agar tidak repot, diskursus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai wacana. Saya kira, definisi tentang diskursus sudah banyak tersebar di dunia Google. Sejak itu, diskursus tidak menjadi khutbah terlarang, maka “kesumat pertapa romantik” lewat media sosial menjadi godaan, teror, dan fiksi.

Saya berada seperti kedalaman dan bentangan pemikiran, yang tersalurkan melalui medsos. Diskursus dengan syarat melepaskan bebannya dari mimpi buruk dan dari kebenaran yang bertopeng. 

Setiap gairah berpikir tidak lebih dari bentuk ketidakhadiran sumber melebihi citra pengetahuan yang mesti dicairkan atau dipancarkan. Saya ada karena menyimak sembari senyum melihat para senior dan sohib-sohib ngobrol santai. 

Obrolan mereka kerap serius dan menegangkan. Saya pikir, kita sekali-sekali pergi piknik daripada tegang di grup WhatsApp. Medsos memang menciptakan kita untuk terpancing. Medsos lebih membutuhkan sebuah hentakan lebih besar tanpa basa-basi atau komedi meriah yang tidak dapat dibangkitkan tanda gairah artifisial daripada mengumbar citra suara dari rahasia ironisnya.  

Saya melihat, mekanisme hasrat untuk mengetahui dimaterialisasi dengan tubuh, tanpa citra artifisial dan ilusi mimpi. Ia menggandakan citra retorik lebih lihai dari partikel-partikel atom sebagai pengetahuan manusia paling maju, sekalipun dia menyelipkan ‘hasrat untuk ragu’ yang payah.

Sejauh ini, adakah mimpi dipermainkan oleh realitas? Seluruhnya mengalir dalam hasrat. Ia sebagai mesin ganda, dimana kita mulai melihat seperti keajaiban mesin aliran dan tanda, godaan dan citra artifisial?  

Sementara, cara saya untuk menawarkan atau mencangkokkan spesies yang lebih waspada, hampir dapat dipastikan secara lebih cermat ketika saya merenungkan tentang strategi dan permainan politik, ujaran kebencian, dan jejak-jejak digital akun Fufufafa merupakan bagian dari “mekanisasi” dan “penipuan informasi” yang terlalu instan kematiannya.

Mungkin, kita tidak pernah memiripkan hasrat dengan sensasi karena hasrat itu sendiri yang menciptakan rangsangan diskursus melalui tubuh saat merambah jagat maya. Bahwa akhir dari representasi gambar diubah jadi citra artifisial seiring aliran produksi hasrat. Ketika saya berada di tengah diskursus tentang hasrat untuk mengetahui telah bebas dari lingkaran-lingkaran ketat ilusi, maka huruf-huruf atau sistem numerik yang melibatkan tangan, mata, telinga, dan indera lainnya akan terjalin kelindang dengan aliran darah dan aliran teori.

Sampai kemudian retakan, celah, dan ilusi lenyap dalam nilai ilmiah (termasuk tatanan geometris dan algoritma-komputer).

Saya akhirnya mengatakan, jika nilai ilmiah hanyalah syarat dari pengetahuan. Saya juga ngelantur, jika pengetahuan tentang tubuh masih tetap kuat daripada celoteh belaka. 

Tubuh tidak lagi menjadi omong kosong, melainkan tubuh mengubah kekuatan pikiran paling mutakhir menjadi mimpi dan hasrat yang nyata. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline