Lebih tiga hari ini di media sosial platform X muncul kejadian yang memancing perhatian netizen. Seorang anak nomor satu di republik telah tampil beda dengan mengenakan rompi saat blusukan sembari bagi buku dan susu di masyarakat. Hasil jepretan kamera berupa rompi bertuliskan "Putra Mulyono" disebar di medsos. Saya belum beranjak dari medsos, kontan mata saya memandangi akun X yang menampilkan gambar kaos bertuliskan "Korban Mulyono." Begitu penasarannya, saya membuka akun itu. Bluaarr! Para netizen berebut mengomentari gambar di akun 'Sahabat ICW'.
Medsos X adalah dunia yang nyaris sepenuhnya kritis dan teliti. Peristiwa baru, penyelidikan baru, juga wacana yang sebagian baru.
Tentang kalimat terakhir itu, tidak banyak netizen menyadari sepenuhnya bahwa mereka juga tidak luput dari sindiran atau sorotan. Sadar sekadar sadar, tetapi zaman dengan segala yang baru tersebut nyatanya jarang dipahami dan dipersiapkan secara matang sejak dini sebelum mereka merambah dunia medsos. Sebabnya jelas, yaitu tenaga dan waktu mereka terkuras untuk meladeni ocehan dan tingkah aneh maupun untuk menghamburkan "amunisi" bagi perjuangan sosial yang divirtualkan di dunia nyata. Habis sih habis energi. Mulut netizen itu kerjanya mengoceh di medsos.
Lah, suara kritis dari netizen menjadi suara dari langit, iya kan?
Padahal setelah berhasil melampiaskan uneg-unegnya, banyak di antara mereka berbicara dan menulis di akun kelewat menohok, menyindir nyelikit muka-belakang, dan memaki kiri-kanan karena apa yang mereka lihat atau dengar sebenarnya berdasarkan fakta atau bukti yang susah dibantah. Mereka mencemooh seseorang atau kelompok karena haknya untuk menyampaikan kebenaran.
Terlepas dari rasa muak dan mual netizen, maka anak nomor satu di republik juga terkesan abai dengan nurani yang berujung dicemoohi! Cuma ingat, cemoohan bukan berarti permusuhan atau kritik bukan atas dasar kebencian!
Apa sejauh ini? Kita ingin membicarakan tentang para netizen yang doyan cari celah petinggi hingga pesohor lainnya. Mereka tidak bisa diremehkan, tidak gampang ditaruh di belakang telinga, dan tidak diurusi perkembangan kekuatannya. Sebenarnya, jumlah netizen yang garang untuk mencemooh ini jika dikumpulkan akan cukup untuk mendirikan sebuah negara baru.
"Wah, sejak sekarang perlu berjaga-jaga jika petinggi sudah kebal dan nggak mau dengar suara netizen! Yang penting cemoohan netizen di medsos bikin kita lebih bisa menciptakan atmosfir intelektualisme, menghargai perbedaan, mendidik, dan melatih untuk memecahkan masalah kehidupan nyata!"
Gampang saja ngomong begitu. Saya sudah melihat beberapa hari tentang Kaesang Pangarep usai memakai rompi bertuliskan "Putra Mulyono" lewat medsos, yang menganggap kritikan berupa cemoohan netizen seperti angin berlalu.
Oke deh. Kaesang tetap punya alasan pembenaran dari sikapnya untuk menyiasati cemoohan netizen dengan berbagai jurus acuh tak acuh yang sedang menggebuknya dari berbagai arah.
Bukankah cara ogah-ogahan yang bersangkutan terhadap kritikan bisa bertahan lama dari gempuran mematikan di medsos? Misalnya dengan aktif di masyarakat, lalu jadi viral meski bertubi-tubi Kaesang seakan aksi "tutup telinga" akan semrautnya di lingkungan sekitar.