Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Momok Pasca-Jamaah Islamiyah sebagai Bukti Bahwa Moderasi Beragama Belum Selesai

Diperbarui: 20 September 2024   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Belum lama berselang, Jamaah Islamiyah (JI) menyatakan dirinya bubar. Kita telah menyimak di media tentang buyarnya Jamaah Islamiyah dengan tanda curiga dan masih ada dugaan yang lain. Terlepas dari kewasapadaan, tanda zaman kita diantaranya adalah pelepasan dan penolakan berupa obyek dan aura kekerasan.

Kita juga telah diberitahukan, bahwa apapun bentuk teror dari kelompok garis keras manapun akan memproduksi ketakutan luas biasa. Wujud teror melipatgandakan "bom bunuh diri," serangan bom dan senjata lainnya.

Bom bunuh diri sebagai mekanisme sangat menantang maut. Ia sungguh-sungguh sebuah mesin pembunuh di sekitar kita bagai momok.

Demikian pula, mimpi kita betul-betul nyata, ketika mereduksi teror dengan tanda zaman. Dalam mimpi dan khayalan yang terepresi seketika, membuat luar biasanya terorisme menjadi model kekerasan yang diboncengi oleh rezim diskursus ekonomi dan politik, yang dilepaskan sebagai represi utama.

Lalu, akhir dari halusinasi terindah tentang adegan yang tidak nampak dari terorisme tanpa terpaksa dibayar dengan harga seberapapun. 

Dalam keseimbangan kekuatan ideologis, mesin perlawanan terhadap teroris datang dari pengingkaran atas realitas (kaya-miskin, kemajemukan) pada saat kita tidak mampu membayangkan seluruh korban kekerasan dari adegan yang tidak nampak di atas panggung (panggung ada dimana-mana). 

Kemana pun kita pergi akan selalu melihat suatu kekuatan dari ritual perlawanan untuk menundakan ritual kematian akibat teror bom (dimulai dari ciutnya nyali).

Ada sesuatu yang terjadi secara diam-diam. Di sini tentang kekerasan tanpa fisik dari perang ideologi (terorisme) yang terencana dan tersembunyi justeru berubah menjadi sesuatu yang tidak terpikirkan. 

Toh, di balik produksi material belaka yang dipercaya oleh sebagian manusia sebagai faktor utama dari kesejahteraan sosial perlahan-lahan akan terjatuh dalam kehampaan. Kita tahu, bibit-bibit kekerasan sosial dipicu diantaranya oleh sering perut lapar. Nah, ia bisa menyerang pikiran dan tidak mustahil mengarah pada korslet.

Istilahnya, terorisme ada sejak pikiran. Parahnya, kebencian menjadi keharusan. Kata lain, gara-gara rasa muak yang memuncak pada kondisi negara yang carut-marut atau korupsi merajalela dan rusaknya moral para pejabat, maka mereka melampiaskan kemarahannya dengan jalan kekerasan. Dari titik tolak ini, orang-orang yang doyan dengan kekerasan tidak berarti menjadi teroris.

Ketidakhadiran wawasan luas dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi atau non sistem keagamaan juga akan berdampak pada kusutnya kepala seorang teroris. Bahkan kekerasan demi kekerasan dari teroris atas nama "perang suci" atau menjual perjuangannya atas nama Tuhan akibat mereka melihat realitas dengan "kaca mata kuda" atau sekadar membaca buku dalam persfektif 'tunggal'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline