Suatu malam di bulan Ramadhan, 1445 H, saya
celengukan di depan layar leptoup. Ehe, laptop maksudnya. Bukan apa-apa. Saya menyesal sudah memandangi sebuah judul tulisan tersimpan dalam soft file.Saya tiba-tiba membaca satu judul tulisan ”tempoe doeloe” yang lama "terkubur" dalam soft file. Satu tulisan hasil ”perenungan” kecil-kecilan tentang pra dan pasca Reformasi 1998. Oh, om ini hidup di zaman itu ya?
Entah saya sudah punya berapa catatan ringan soal peristiwa penting. Malah, ada arsip dan catatan hasil orek-orek dalam buku agenda rapat di salah satu organisasi mahasiswa, yang berhaluan ”moderat,” di Kota Makassar (meski saya pilih istilah lebih ”bebas” karena berisik).
Awalnya, saya tidak menduga tulisan itu masih ada soft file-nya. Saya jadi sok kepo sendiri. Diantara sekian banyak tulisan onlen, palingan sekitar 30-an tulisan yang saya senangi. Tetapi, tulisan lepas itu bukan main ’ngawurnya’.
Tulisan itu betul-betul ”ada apa dengan anu.” Terus terang saya masih mencari ”bentuk.” Mencari, mencari, dan mencari ...?
Jadi, saya tidak punya posisi untuk hidup glamor. Di benak saya, ada tulisan yang menyiksa waktu itu (hingga sekarang), kalau saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Ah, tulis, ya tulis saja, Man! Nggak perlu kejar tulisan yang ”wah,” bagus, bernas segala! Hentikan takut salah nulis! Begitu gumanku. Hei Emmang, sapaan dari sohib-sohibku! Nikmati saja prosesnya!
Memang perkaranya, tulisan saya repot banget untuk dipahami. Maklum, tulisan ngelantur, ”jurus mabuk” serupa tong kosong nyaring bunyinya. Cuma tulisan rendahan, tulisan kelas ecek-ecek, kelas kaleng-kaleng, etc, etc, teng ... teng.
Seimut-imut dan ”segajah-gajahnya,” petuah sohib-sohibku kala itu menjadi obat penenang rasa loyo. Lah, kenapa bisa tulisanku justeru jadi tidak garing bahkan kacau dan balau? Tanyaku membatin.
Saya abaikan saja. Itulah punya masing-masing sejarah dan jalan hidup tersendiri. Saya yakin, teks tertulis punya ”blind spot, titik buta, tulisan sebagai teknik mengingat bahkan lebih baik dari ingatan itu sendiri,” kata Jacques Derrida.
Akhirnya, saya mohon izin karena tulisan ini sudah kelewat panjang sebelumnya. Untuk itu, saya pun mengedit di pelosok kiri kanan, atas bawah. Inilah tulisan tempoe doeloe, tabik!