Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Para Korban Kecanduan Pornografi

Diperbarui: 9 Mei 2024   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponsel berlatar tontonan dewasa (Sumber gambar: kompas.com)

Di ruang kelas berlangsung obrolan tentang pelajaran, berjudul: "Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga." Seorang guru menjelaskan apa sih itu pernikahan menurut pandangan agama. 

Inilah pertanyaan ibu guru. Apa itu pernikahan? Ikatan sah antara laki-laki dan perempuan secara agama. Tiba-tiba ada celetukan, "sudah bisa wig-wig," bu! Begitulah jawaban siswa terlalu polos dari salah satu sekolah menengah atas.

Yang menjawab dari siswa laki-laki. Berharap ada pendidikan seks di usia remaja, malah muncul jawaban gaspoll atau oke gas terhadap hal-hal yang dulunya masih tabu diobrolkan. 

Kini, hal-hal tabu itu sudah seenaknya menjadi bahan gunjingan alias gosip ria. Tanpa peduli di ruang kelas atau bukan, obrolan seputar pornografi atau seksualitas sudah dianggap hal biasa.

Mendengar langsung cerita singkat dari sosok guru (harap maklum, ibu guru itu adalah ibundanya anak-anak. Saya tertawa sendiri), maka saya seakan menerima paparan materi tentang gambaran kondisi seksual dari siswa. 

Kalau hitung-hitungan tanpa data statistik, berapa persen siswa sekolah menengah yang sudah pernah nonton video porno? Berapa persen siswa sekolah menengah lewat jalur offline dan online? Kalau diblokir, lewat jalur manakah siswa sekolah menengah mencicipi video porno? 

Sebetulnya seabrek pertanyaan. Saya kira, bunyi pertanyaan ini sudah cukup bahwa ada gambaran awal perilaku seksual dari siswa sekolah menengah lewat video porno dan media lainnya.

Terutama orang tua sudah mulai gusar. Disangkanya bermasa bodoh dan ogah-ogahan dengan kasus anak sekolah yang terlibat gim onlen berkonten porno, padahal orang tua gelisah bukan kepalang.

***

Siswa berangkat ke sekolah sebelum fajar menyingsing, sebelum terbit sang surya dan pulang tembus sore demi mengejar bonus kurikulum 13 atau kurikulum merdeka. Siswa sekolah menengah nyaris setiap hari dijejali tugas plus PR. Di antara siswa ada berseloroh. 

“Memangnya lu pemegang rekor tertinggi lembur di rumah,” nyentilnya ringan. Untuk seterusnya, tidak ada hubungan antara kurikulum merdeka dan obrolan siswa nampaknya bakal heboh lewat chat di WhatApps. Saya sebetulnya jadi kepo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline