Lihat ke Halaman Asli

Ermansyah R. Hindi

Free Writer, ASN

Betulkah Kritik Kampus adalah Obat Mati Syahwat?

Diperbarui: 29 Maret 2024   10:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernyataan sikap sivisitas akademika UI (Sumber gambar: kompas.com)

Mengapa demikian kanda suhu Doktor Mukhaer Pakkanna? Begitulah sekelebat pertanyaan saya pada sosok rektor di salah satu perguruan tinggi swasta, yang lagi rising star, di Jakarta. 

Pertanyaan saya muncul gara-gara obrolan serunya di grup WhatsApp. Satu kesempatan yang tidak terlewatkan. Sisa setelan-setelan judul dalam catatan lewat edit sesuai kalimat Doktor Mukhaer Pakkanna: "Pimpinan universitasnya lebih genit. Dibanding mahasiswa." Atas nama kepo alias penasaran, saya pun berpandangan lain atas pernyataan di atas.

Mengapa kritik kampus sebagai obat mati syahwat melalui petisi, protes, dan pernyataan sikap lainnya? 

Hemat saya, karena belum ada "benang merah" alias titik temu atau kesimpulan logis antara pimpinan kampus, Guru Besar atau kademisi, dan mahasiswa dalam soal siapa "common enemy"-nya (musuh bersama)? 

Jangankan mengenal siapa musuh bersama, sedang dirinya saja sebagai "kuasa mini" belum tergenggam penuh. Kendatipun "kuasa mini," yang penting syahwat untuk pengetahuan tidak ikut lemas dan kendor.

Kita coba abaikan dulu arah pembicaraan itu. Mahasiswa maupun Guru Besar atau akademisi masih berputar-putar pada isu itu ini saja. Katakanlah, soal politik dinasti, netralitas, redupnya demokrasi, etika, dan sebagainya. 

Jadi, isi kepala Guru Besar atau akademisi dan isi kepala mahasiswa tidak searah, setujuan menjadi "bias" karena common enemy-nya masih belum jelas. Hal ini bukan tanpa alasan karena ada petisi tandingan kampus.

Dalam berita media, serangan keras datang dari  opini Majalah TEMPO, misalnya, menyebut Gibran sebagai "Anak Haram Konstitusi" justru menjadi semacam "tembakan salvo." Doorr! Ia meledak, tetapi peluru hampa. Sebentar lenyap di ruang udara.

Ia berbeda dengan peristiwa 1998. Kita tahu "common enemy"-nya, yaitu 'otoritarianisme Soeharto'. Dia terlalu perkasa dalam rezim Orde Baru.

Baik mahasiswa maupun Guru Besar atau akademisi tidak memiliki kepala, kaki, dan tangan dengan masyarakat "akar rumput" alias wong cilik. Suara kritis mahasiswa dan Guru Besar-akademisi tidak lebih dari gema yang dipantulkan lewat "Menara Gading" kampus. 

Akibatnya ada jarak kesadaran yang amat jauh antara Guru Besar-akademisi, mahasiswa dan wong cilik untuk mengkritisi pemerintahan atau rezim penguasa. Jadinya, perjuangan simbolik antara Guru Besar-akademisi, mahasiswa dan wong cilik menjelma menjadi kesadaran semu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline